Kamis, 30 September 2010

DILLEMA


Aku sendirian berada disetapak asing yang tidak pernah aku jumpai,

Aku menangis ditengah keramaian yang tidak seorangpun yang mau menatapku,

Aku berteriak seolah disekitarku ini tidak ada apapun, melihat keseklilingku yang sungguh membuatku terasing,

Berkali-kali dengan pertemuan yang salah
Berkali-kali dengan harapan yang salah
Berkali-kali dengan impian yang salah

Aku ini sakit,
Tapi apa pedulinya aku?
Apa pedulinya aku?
Aku mati saja,
Biar aku mati saja,
Aku pun ingin menghilang seiring menghilangnya senja dalam warna jingga yang menyeruak kepermukaan bumi,
Aku juga ingin sekali ikuti matahari, yang pergi ketika rembulan datang menghampiri,
Aku, aku gila, aku gila, aku gila,
Biarkan aku tutup akhir kata ini dengan sebuah diorama yang menggila dalam sebuah kutipan yang aku sebut singkat sebagai sebuah DILEMA.

Minggu, 26 September 2010

TERSENYUMLAH UNTUKKU…



Aku dilahirkan sebagai sang pencinta. Seluruh hidupku adalah pengorbananku, tak sedikitpun lahir penyesalan dalam diri ini. Kulakukan hanya untuk kebahagian dan mungkin kedamaian yang abadi.
            Siang itu langit terlihat sangat tidak bersahabat. Awan-awan gelap mulai bergumpalan disetiap sudutnya. Seakan sudah tidak sabar untuk menumpahkan kubikan air yang diembannya. Hingga sang raja cahayapun tidak bisa bertahan, dia lebih memilih mengalah dan mengurung dirinya dalam kegelapan.
            Hujan lebatpun kini menahanku untuk tetap tinggal diteras rumah sakit ini. Tidak mungkin juga aku pulang dengan basah kuyup. Biar saja aku menunggu hingga reda. Setiap enam bulan sekali, aku memang selalu dating kerumah sakit ini, bukan hanya sekedar berkunjung, tapi aku membiasakan diriku untuk mendonorkan darahku kepada orng-orang yang membutuhkan. Sambi menunggu hujan reda, aku memutuskan berjalan sepanjang koridor rumah sakit yang terlihat lengang.
            DIBUTUHKAN GINJAL
            “Siapapun anda yang memilki jiwa besa, kami sangat membutuhkan ginjal anda, jika anda berniat mendonorkan ginjal anda, datangah ke ruangan melati.”
            Aku membaca pengumuman yang terpasang dipapan mading koridor itu, dan entah kenapa dengan refleksnya kakiku langsung berjalan dan pikiranku terbayang pada tulisan ruang melati yang aku baca di papan mading itu. Langkahku begitu saja berjalan, dan entah kenapa aku ingin segera menemukan ruang melati itu.
            Aku masuk kedalam ruangan bercat hijau toska itu, dan memandang sekelilingku yang rasanya sangat sepi.
            “Silahkan masuk!”
            Aku tersentak, seseorang telah bersuara tapi aku tidak melihat ada satu orangpun di ruangan itu. Tapi kekhawatiranku akhirnya terjawab. Aku menemukan lubang kecil yang diatasnya tertulis registrasi, dan melihat ada seseorang dari balik lubang keci itu. Aku mendatanginya dan melakukan apa yang seperti biasanya aku lakukan. Aku mengisi formulir dan beberapa surat lainnya.
            “Silahkan langsung masuk saja Mask e ruang nomor satu itu!” perintah san receptionist sambil menunjuk pintu ruangan yang terletak di sisi paling pojok ruang utama. Dan dengan senangnya aku menuruti perintahnya. Hujan di luar mungkin sudah reda, karena aku sudah tidak mendengar suara gemericiknya lagi.
            “Selamat siang, silahkan duduk!” Sang dokter menerima aku dengan ramah.
            “Terimakasih dok!” Kataku sambil menarik bangku dan langsung mendudukinya.
            “Saudara pasti membaca pengumuman yang saya pasang di madding koridor, sulit sekali menemukan orang-orang seperti saudara, yah paling tidak membaca informasi yang ingin kami sampaikan.”
            Aku tidak berkata apapun, saat ini aku hanya bingung, sebenaranya apa yang aku lakukan di tempat ini dan hati ini seolah-olah sedang berdebat tentang sesuatu yang sepertinya sangat tidak wajar.
            “Nama saudara siapa?” Sang dokter menyadarkan ketidaksadaranku sesaat.
            “Raka dok.” Jawabku singkat.
            “Saudara benar-benar ingin mendonorkan ginjal saudara?”
            Dan pertanyaan itu sudah menyadarkan aku yang serasa terapung dalam perdebatan di benakku sendiri. Ya, itulah kenapa sekarang aku berada di ruangan ini, aku ingin mendonorkan ginjalku.
            “Maaf, sebenarnya saudara sedang memikirkan apa?”
            “Oh, nggak dok! Maaf, iya saya mau mendonorkan ginjal saya. Kalau saya boleh tahu, kepada siapa ginjal saya ini diberikan?” tanyaku agak skeptis.
            Dan sang dokterpun mengajakku ke sebuah ruangan perawatan yang sangat intensif, sebelum aku masuk ke dalam ruangan itu, aku diharuskan mengenakan baju khusus untuk penjenguk, berwarna biru tanpa motif. Ruangan itu begitu dingin, mungkin suhu ac yang diset maksimal, atau mungkin suasana sepi yang membuatku merasakan kedinginan yang berbeda. Dan akhirnya aku melihat sosok tubuh yang terbaring di kasur yang terlihat sangat hangat. Tubuh itu kaku tidak berdaya, tapi raut wajahnya memancarkan kesegaran dan semangat hidup yang sangat besar. Gadis, ya dia seorang gadis, dan aku rasa usianya tidak jauh berbeda denganku.
            “Namanya Inez Revifirst, umurnya baru duapuluh tahun, tapi kasihan dia, rumah sakit ini sulit menemukan ginjal yang cocok dengan ginjalnya. Sudah hamper satu bulan dia terbaring disini, dan hal yang sangat baiklah saudara dating ketempat ini bahkan dengan sukarela.” Sang dokter sepertinya sedang menyugesti aku agar aku yakin akan keputusan yang akan aku ambi setelah ini. Aku tidak mempedulikan ocehannya, dan saat ini aku lebih memperhatikan sosok tubuh yang tertidur pulas di depanku. Aku memperhatikannya sangat dalam, ada perasaan aneh mulai berkecamuk kembali dihati dan pikiranku, dan akhirnya aku memutuskan bulat untuk merelakan ginjalku untuk sosok manis sang gadis yang tertidur.
            Dan lagi, keputusanku sudah bulat sangat bulat tepatnya dan seluruh raga ini akan sangat merelakan separuh dari bagian tubuhnya untuk seorang gadis yang terkulai tidak berdaya. Seluruh hidupku, adalah tentang pengorbananku, tidak sedikitpun terlahir sesal dalam diri yang akan rapuh ini, pikirku.
…….
            Satu bulan setelah itu, semua kembali seperti biasanya. Aku kembali ke kampus, menjalankan semua aktivitasku secara normal dan sewajarnya. Tak ada sedikitpun perubahan dalam diriku, semuanya baik-baik saja. Akan tetai, seketika ada perubahan dalam hati ini, perasaan aneh selalu menghampiri mimpi-mimpiku. Dan perasaan itu semakin jelas ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta.
            Dia yang selalu mengisi kalbuku, dan aku temukan cinta, hadir dalam hati ini. Yang selama ini menjadi mimpi untuk perasaan ini, keyakinan ini, dan semua itu ada pada gadis itu, Inez. Aku kira pertemuanku dengannya dirumah sakit adalah pertemuan terakhirku, dan tanpa arti apapun akhirnya malaikat keciku ternyata ada di kampusku. Kutemuinya sekarang dengan hal berbeda, semangat hidup yang dulu pernah kulihat di wajahnya kini kulihat nyata terpancar dari senyuman-senyumannya yang bias kunikmati setiap hari.
            Untuk : Inez
                “Antara ketiadaan fakir, enyah asa harapan hidup,
                Mungkinkah dapat bertahan?
                Adanya sosokmu yang hadir buat puing hidupku menyatu kembali
                Atas nama cinta dan malaikat keci dihatiku… Inez”
                “Buat gue? Dari siapa ya? Baru kali ini gue dapet puisi kayak gini.” Kata Inez dengan senyum khasnya yang mengembang dan mata binarnya yang indah. Bahagianya ia mendapatkan kertas puisi yang tertempel di depan lokernya, dan ia menyimpannya.
            “Inez… apa kabar… duh, gue kangen banget sama loe! Syukur banget deh loe udah bias masuk lagi.” Erwin menghampiri Inez dan memeluknya.
            “Iya Win, gue juga nggak nyangka masih dikasih kesempatan buat hidup sama Tuhan, dan masih dikasih kesempatan buat ketemu lagi sama orang jelek kayak loe!” balas Inez sambil tersenyum bahagia.
            Pagi itu, kampus masih sangat sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat sedang sibuk menyelesaikan tugas mereka di kantin. Erwin dan Inez duduk berdua dimeja paling pojok, mereka berdua bertemu kangen karena sudah cukup lama Inez absent kuliah.
            Untuk : Inez
                “Keteguhan adalah kekuatan hati,
                Jarum selalu menusuk membuat kepedihan,
                Tapi angan dan jiwa akan selalu berfikir selamanya,
                Damai, ketenangan, kasih saying, akan memenuhi janji jika kau ada,
                Aku ingin kau dating disampingku bila memang aku kan bias,
                Sempati janji seorang cinta sejati…”
                “Puisi lagi, kere banget kata-katanya…” Inez mendapatkan secarik kertas berisi puisi untuknya, ia menemukannya disamping cangkir teh yang ia pesan.
            “Coba gue liat, puisi dari siapa?” Tanya Erwin dan membaca puisi Inez, Inez hanya menggelengkan kepalanya dan langsung menyeruput teh di depannya.
            “Bagus! Cob ague Tanya sama si Neneng ya! Tadi diakan yang anter teh loe!”
            “Duh, nggak usahlah Win, lagian gue bentar lagi mau masuk nih ntar kelamaan debat sama si Neneng, ya udah gue duluan ya! Oya, tehnya loe yang bayarkan? Gue duluan ya, bubbye Win…”
            Inez tidak habis fakir, siapa yang mau rajin mengiriminya puisi, tak ada seorangpun yang terfikirkan oleh Inez, ia tidak puya banyak kenalan di kampusnya, hanya ada Erwin, dan beberapa teman dikelasnya.
            “Tunggu, Erwin? Apa mungkin dia, tapi nggak mungkin juga mana bias dia bikin tuisan kayak gini. Kalaupun dia, nggak mungkin juga dia yang menyelipkan puisi itu di cangkir teh gue.” Pikir Inez dan langsung masuk kelas yang sudah ramai.
            Dan aku terus mengirimi puisiku, aku tidak pernah menyematkan namaku ataupun inisialku, karena aku yakin suatu saat nanti Inez pasti akan mengetahuinya, semuanya.
            Saat-saat yang paling aku impikan akhirnya tiba juga. Ketika aku sedang makan bersama Erwin teman satu kelasku, tiba-tiba saja Inez menghampiri kami berdua. Dan Erwin mengenalkanku pada Inez, sosok jauh yang sangat dekat denganku, lekukan wajahnya bila dilihat begitu dekat memberikan kesejukan untuk hatiku. Semua ini terlihat begitu nyata. Dan sejak perkenalan itu, aku dan Inez lebih sering berkomunikasi. Meskipun dalam percakapan antara aku dannya ia lebih sering bercerita tentang Erwin. Dan satu hal yang sangat membuatku berhenti berharap, tentang pernyataan Inez yang menyakitkan bagiku ia menganggap puisi-puisi yang didaatnya adalah puisi dari Erwin.
            Pagi itu, sang surya masih malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Cahaya masih redup, kabut samar-samar masih menyelimuti jalan menuju kampus. Inez memutuskan untuk datang lebih awal, meskipun jam kuliahnya baru dimulai siang nanti. Rasa penasarannya sudah membuat semangat hidupnya kembali pulih, ia sangat penasaran tentang puisi-puisi yang didapatkannya. Inez berjalan semangat dalam koridor fakultasnya yang sepi. Hanya ada petugas kebersihan kampus yang sedang serius mengerjakan tugasnya.
            “Pagi ini gue akan tahu, siapa orang yang nulis puisi buat gue.” Gumamnya bahagia. Dan ketika kaki kanannya menginjakkan lantai kelasnya yang sepi ia sangat kaget, senyumnya yang beberapa detik lalu tersimpul kini memudar dan membentuk simpul datar. Kertas itu, kertas cokelat yang selalu ia temukan kini ada tepat di atas kursi yang biasa ia tempati. Dan dengan satu tangkai mawar merah segar terselipkan. Inez mengambilnya, mencium harum segar mawar yang menusuk, kemudian membuka lipatan kertas dan membacanya.
            Untuk : Inez
                “Andai dapat aku katakana, ketika ketika hadirmu mengusik anganku.
                Meskipun duri-duri itu menghalangi jalanku, aku akan tetap berada,
Saat kehadiranmu menghilang, kucoba untuk dapat mengulang semua tentang mimpi dan harapan,
Ketika kandas menghampiri hati, aku berharap kau tetap berdiri menanti, dalam ketiadaan yang penuh arti antara harapan dan jalan cinta…”
            Belakangan ini rasanya kesehatanku mulai memburuk, aku merasa tidak enak badan saat aku beraktivitas lebih. Tapi aku tidak terlalu mempedulikannya, yang aku pikirkan saat ini adalah Inez, tentang cintaku yang akankah terbalas dan sampai kapankan ketidakwajaran ini, samapai kapankah aku kuat bertahan dalam ketidakjujuran yang menyiksaku. Apakah aku harus berkata jujur tentang semuanya pada Inez, tentang donor ginjal itu, tentang puisi-puisiku, dan tentang pengorbananku. Dan aku tak yakin akan semua hal itu.
            Lagi, pagi itu udara kampus masih sangat lembab, pohon-pohon pinus dan cemara masih meneteskan sisa-sisa air bekas hujan tadi malam. Jalan setapak yang aku lewatipun masih basah tersiram hujan. Aku pergi ke kantin seperti biasanya sebelum, sebelum masuk kelas aku lebih memilih menghabiskan sisa waktuku di tempat itu. Dan saat aku sampai, aku melihat Inez sedang menyeruput minumannya yang mengepulkan asap hangat. Aku memilih untuk duduk berjauhan dengannya berharap dia tidak menyadari kedatanganku. Tapi ternyata aku salah, saat aku duduk di kursiku, dia tersenyum padaku, sesimpul senyum segar dipagi hari, dan akupun membalas senyumanya, hanya itu. Bahagia sekali ia, dengan craft jingga di lehernya. Dan aku memutuskan untuk menghampirinya dan duduk di dekatnya.
            “Hai Ka! Pagi banget loe datang, cuma sendiri, Erwin kemana?”
            “Nggak tahu, saya belum lihat tadi langsung ke sini mungkin belum datang.”
            Suasana hening, tidak ada yang bias dibicarakan anatara kami berdua, untungnya ada kicauan burung yang sedikit meredakan ketegangan.
            “Ka, lo satu fakultaskan sama Erwin?”
            “Yaps!”
            “Hebat yah, bakal jadi sastrawan.”
            “Wah, nggak seperti itu juga Nez, biasa aja, malah bukannya kamu yang lebih hebat dari kami.”
            Inez tersenyum, dan akupun mulai merasakan kehangatan antara aku dannya.
            “Oya, gue mau nanya sama loe, ini tentang Erwin, apa loe pernah ngeliat dia bikin puisi? Buat seseorang mungkin?”
            Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Lebih baik aki menghindarinya, lebih baik aku pergi dan tidak usah berharap bertemu lagi dengannya.
            “Maaf Nez, saya harus ke kelas sekarang, saya lupa kalau saya masuk jam setengah tujuh.” Dan aku segera bergegas tanpa berkata apa-apa lagi, aku takut menghadapi situasi seperti itu.
            Firasatku ternyata benar, aku sudah tahu Inez akan meganggap bahwa Erwinlah yang memberikannya puisi-puisiku, dan pada akhirnya secara tidak langsung aku sudah menjodohkan mereka berdua dan membiarkan aku semakin terpuruk dalam ketiadaan berfikir. Aku merasa, hari ini adalah hari terakhirku menginjakkan kakiku di kampus, terakhir kalinya aku melihat wajah malaikat kecilku dari dekat, terakhir kalinya aku menghirup embun pagi, dan terakhir kalinya aku melihat awan-awan keci berarakkan perlahan di langit. Aku pingsan, tak sadarkan diri dalam keterpurukan.
            Aku membuka mataku samar-samar kulihat dokter di sampingku dan kurasakan sensasi dingin persis seperti beberapa bulan yang lalu, dingin yang tidak normal. Aku mencoba bangkit, tapi terasa sulit sekali, kepalaku terasa nyeri tak tertahan, aku sakit. Dokter itu terlihat gundah melihatku, aku tahu pasti sudah terjadi hal buruk yang menimpaku, bahkan lebih buruk dari hal-hal sebelumnya.
            “Dok, tolong ambilkan kertas yang saya simpan di dalam ransel saya,” aku ingat masih ada satu puisi lagi yang ingin aku berikan pada Inez. Dan dokter itupun mengambilkan kertas yang aku pinta dan mengambilkannya untukku.
            “Berikan kertas ini pada gadis teman saya dok.”
            Dan itulah kalimat terakhir yang bisa aku ucapkan. Mataku kembali terpejam dan entah bagaimana rasanya, aku hanya terdiam dalam dingin dan ringan sekali. Saat aku sadar dan berdiri tegak di samping dokter, aku mendapati tubuhku terbaring dengan mata tertutup dan tak bernyawa kaku. Aku terbungkam, meninggalkan puing hidup yang belum aku satukan. Aku melihat Inez dan Erwin masuk dan mendekati tubuhku yang dingin. Inez menangis, mendekap erat tubuhku dalam haru bisu. Dan Erwin hanya menatap kosong dengan sesal. Dokter memberikan kertas yang aku titipkan, puisi terakhirku untuk malaikat kecilku yang tak tergapai.
            “Dia hanya memberikan ini, maaf kami tidak bisa banyak membantu kanker otaknya sudah tingkat stadium lanjut dan mungkin Tuhan memberikan hal terbaik dalam hidupnya.” Dokter itu pergi meninggalkan ruangan yang dingin.
            Inez membuka kertasku, sambil menyandarkan tubuhnya dalam dekapan Erwin, ku lihat ia mulai membaca puisiku.
            Untuk : Inez
                “Kasih saying datang atas ketulusan hati,
                Biarkan aku bawa terbang melayang  sampai ujung nirwana, akan kutepati.
                Manusia adalah tentang hidup dan mati, seperti hewan dan tumbuhan,
Terlahir, jadi tanah, bila suatu saat, atas nama cinta dan kasih saying, maafkanlah hati seorang pujangga, sekali lagi atas nama cinta seutuhnya…” (Raka)
Inez kembali memeluk tubuhku dengan air mata yang terus mengalir dari binary matanya. Ketidak berdayaan tersorot dari raut wajahnya. Hanya terdengar lirih dari mulutnya,
“Maafin gue ka…” ucapnya, lalu hening.
Aku hanya bias melihatmu dari jauh Nez, aku yang seharusnya minta maaf sama kamu, maaf untuk segala ketidakjujuran itu, dan maaf atas keterlambatanku untuk semuanya.
Pengorbanan terlahir dari sebuah ketulusan hati, terkadang, kita memang harus terluka, bagi semua yang tercinta. Tuhan berikan aku untuk tetap bertahan, agar semua keya           kinanku tak akan menjadi sia-sia. Hargailah aku, walaupun hanya tersenyum untuk diriku. Dan ingatlah, akan kupertaruhkan seluruh jiwa ragaku demi jiwa yang mengisi ruang batinku, selamanya…

Label