ANTARANEWS
Panji Pratama
Sebelum mengakhiri kunjungan singkatnya di Indonesia, Presiden Amerika Serikat Barack Obama sempat berpidato di hadapan sekitar 7.500 undangan di kampus Universitas Indonesia Depok, pada Rabu.
Tapi bukan memorinya tentang Indonesia dan euforia media terhadap kunjungan orang nomor satu di Amerika itu yang meninggalkan kesan mendalam, namun caranya menyampaikan pidato di hadapan mahasiswa dan dosen, serta jutaan pemirsa Indonesia yang menyaksikannya melalui televisi.
Kemampuan sang presiden untuk berbicara di depan khalayak tanpa membaca teks pidato seolah mengingatkan `kita` kepada sosok pemimpin besar yang pernah menyihir bangsa Indonesia melalui keahliannya beretorika, mantan presiden Soekarno.
"Pulang Kampung Nih," kata Obama dalam bahasa Indonesia pada bagian awal pidatonya di Balairung Universitas Indonesia, yang tentu saja mengundang tawa dan tepuk tangan yang riuh dari peserta yang beruntung bisa menghadiri kuliah umum tersebut.
Kemampuan Obama dalam menyampaikan pesan tentang pluralisme, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam pidato selama kurang lebih tiga puluh menit itu, menginspirasi bangsa Indonesia tentang kebebasan untuk memeluk agama tanpa merasa takut dan dibatasi nilai universal.
Seorang pakar komunikasi Deddy Mulyana mengatakan bahwa Obama merupakan komunikator yang mempesona karena sangat tenang dalam berorasi dan dapat mengatur kecepatan berbicara.
Dihubungi melalui telepon di Bandung, Rabu, Deddy yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) mengatakan, Obama merupakan komunikator yang baik sehingga dapat berbicara secara efektif.
Menanggapi diplomasi yang dilakukan Obama selama kunjungan di Indonesia, Deddy mengatakan, dari segi bahasa verbal dan non verbal Obama sangat superior.
"Performa Obama dalam berdiplomasi dapat menandingi pendahulunya mantan Presiden Amerika John F Kennedy," kata Deddy.
"Obama dapat menyelaraskan bahasa verbal dan non verbal sehingga orang Indonesia pun dapat menangkap apa yang dia bicarakan," kata Deddy.
Penggunaan istilah "Nusantara" dalam penegasan tentang hak-hak warga negara serta menyebutkan Sabang sampai Merauke dalam pidatonya adalah bukti bahwa seorang Obama, yang sempat menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Jakarta, tidak lupa akan keberagaman Indonesia.
"Pada 1967-1968 ketika sebagian besar dari anda belum dilahirkan, kota ini belum dipenuhi gedung-gedung tinggi. Hotel Indonesia merupakan bangunan tertinggi. Dan hanya ada satu pusat perbelanjaan besar, Sarinah," kenang Obama yang disambut gelak tawa ribuan tamu di Balairung UI.
Obama juga menyampaikan beberapa hal seperti demokrasi, pembangunan, dan agama yang juga penting bagi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan adanya keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia.
Kharisma mantan senator Illnois itu tentu saja tidak terbatas pada kemampuannya melafalkan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan benar, mutu dari pesan yang disampaikannya tentang toleransi antarumat beragama, kebhinnekaan Indonesia, serta kekagumannya terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Seorang penulis dan penyanyi ternama Indonesia, Dewi Lestari, melalui laman "Twitter"-nya pun menuliskan bahwa akustik rongga mulut Obama ideal, suaranya jadi "powerful", gaungnya pas, serta artikulasinya jelas ketika ia mengamati pidato Obama dengan seksama melalui televisi.
Hal senada disampaikan oleh Goenawan Mohamad, sastrawan sekaligus legenda jurnalisme Indonesia, yang memuji kemampuan Obama dalam berpidato di depan umum dengan retorika yang bagus.
Menurut pria yang akrab disapa Goen itu, di antara para pemimpin Indonesia selama ini hanya Bung Karno yang menonjol dalam kemampuan beretorikanya, sementara para penerusnya cenderung kaku dan tidak memiliki kemampuan "menyihir" massa seperti Bung Karno.
"Retorika berkembang atau tidak di masyarakat, terkait dengan suasana dan sistem politik dan tatanan sosial masyarakatnya, ketika tahun 1950-an politik bebas, dan banyak pula rapat umum di lapangan terbuka, retorika jadi penting untuk berkomunikasi," tulisnya dalam sebuah akun "Twitter" miliknya.
Ia kemudian membandingkan perkembangan retorika dalam era kepemimpinan para presiden di Indonesia, seperti pada masa demokrasi terpimpin yang terpusat hanya pada Bung Karno sehingga retorika praktis dimonopoli sang pemimpin besar revolusi.
"Sementara pada masa mantan presiden Soeharto, retorika mati. Bukan hanya karena Soeharto tak pandai pidato, tapi masa itu adalah masanya sistem politik otoriter birokratik, instruksi tak perlu retorika melainkan cukup dengan sanksi, apalagi disertai dengan kekuatan senjata dan teror," tulisnya.
Goen menjelaskan bahwa dalam sistem politik itu yang penting adalah instruksi dari atas, sementara pemimpin tak perlu mengajak dan meyakinkan rakyat, cukup dengan perintah saja.
"Tak ada pemilu bebas, menjadi wakil rakyat ditentukan dari atas, gubernur dan bupati tak dipilih langsung jadi tak perlu pidato," tulisnya.
Goenawan juga menyoroti tentang pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah umum yang tak dikaitkan dengan kemampuan menyampaikan pidato, akting teater, atau debat, bahkan juga komposisinya, sangat berbeda dengan pelajaran bahasa di AS dan di negara lain, maka tak mengherankan Obama pandai berpidato.
Melalui sebuah pertanyaan monolognya, Goenawan bertanya "Kapan kiranya Indonesia punya pidato yang layak disimpan dalam kenangan dari pemimpinnya?"
"Jawabannya, kalau pendidikan bahasa diperbaiki, demokrasi dan kebebasan ekspresi berkembang, serta TV tak diisi acara bincang bincang yang itu-itu saja," katanya.
Dalam kesempatan sebelumnya di Mesjid Istiqlal, Obama berharap kehadirannya itu dapat meningkatkan rasa saling pengertian antarmasyarakat berbagai negara dan agama.
"Saya berharap kunjungan saya dapat mempromosikan saling pengertian (pemahaman) yang lebih besar antara warga dari berbagai negara dan agama karena kita semua adalah anak-anak Tuhan," tulis Obama dalam buku tamu yang ditandatanganinya bersama sang istri.
Ia pun menuliskan bahwa ia merasa terhormat memiliki kesempatan untuk mengunjungi masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut.
"Saya merasa terhormat memiliki kesempatan untuk mengunjungi masjid yang luar biasa ini, yang berdiri sebagai simbol dan peran Islam dalam menuntun kehidupan jutaan rakyat Indonesia," katanya.
Setelah mengunjungi Istiqlal selama 15 menit dan berpidato di Universitas Indonesia selama sekitar 30 menit, Presiden Obama akhirnya meninggalkan Jakarta pada pukul 10.49 WIB dari Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta.
Presiden kulit hitam pertama Amerika itu dilepas oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Jalal.
Bukan insiden istri Pak Dino yang "diseret" di istana, penyambutan pengamanan yang berlebihan terhadap Obama, ataupun kasus salaman Menkominfo Tifatul Sembiring dengan Michelle Obama yang akan diingat warga Indonesia dalam "pulang kampung" Obama yang singkat kali ini, tapi pidatonya di Universitas Indonesia.
Pidatonya yang luar biasa itu seolah mengingatkan `kita` bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang tidak terlupakan, termasuk bagi Barry, sang presiden dari negara adidaya yang pernah tinggal di Jakarta. (PPT/K004)
Tapi bukan memorinya tentang Indonesia dan euforia media terhadap kunjungan orang nomor satu di Amerika itu yang meninggalkan kesan mendalam, namun caranya menyampaikan pidato di hadapan mahasiswa dan dosen, serta jutaan pemirsa Indonesia yang menyaksikannya melalui televisi.
Kemampuan sang presiden untuk berbicara di depan khalayak tanpa membaca teks pidato seolah mengingatkan `kita` kepada sosok pemimpin besar yang pernah menyihir bangsa Indonesia melalui keahliannya beretorika, mantan presiden Soekarno.
"Pulang Kampung Nih," kata Obama dalam bahasa Indonesia pada bagian awal pidatonya di Balairung Universitas Indonesia, yang tentu saja mengundang tawa dan tepuk tangan yang riuh dari peserta yang beruntung bisa menghadiri kuliah umum tersebut.
Kemampuan Obama dalam menyampaikan pesan tentang pluralisme, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam pidato selama kurang lebih tiga puluh menit itu, menginspirasi bangsa Indonesia tentang kebebasan untuk memeluk agama tanpa merasa takut dan dibatasi nilai universal.
Seorang pakar komunikasi Deddy Mulyana mengatakan bahwa Obama merupakan komunikator yang mempesona karena sangat tenang dalam berorasi dan dapat mengatur kecepatan berbicara.
Dihubungi melalui telepon di Bandung, Rabu, Deddy yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) mengatakan, Obama merupakan komunikator yang baik sehingga dapat berbicara secara efektif.
Menanggapi diplomasi yang dilakukan Obama selama kunjungan di Indonesia, Deddy mengatakan, dari segi bahasa verbal dan non verbal Obama sangat superior.
"Performa Obama dalam berdiplomasi dapat menandingi pendahulunya mantan Presiden Amerika John F Kennedy," kata Deddy.
"Obama dapat menyelaraskan bahasa verbal dan non verbal sehingga orang Indonesia pun dapat menangkap apa yang dia bicarakan," kata Deddy.
Penggunaan istilah "Nusantara" dalam penegasan tentang hak-hak warga negara serta menyebutkan Sabang sampai Merauke dalam pidatonya adalah bukti bahwa seorang Obama, yang sempat menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Jakarta, tidak lupa akan keberagaman Indonesia.
"Pada 1967-1968 ketika sebagian besar dari anda belum dilahirkan, kota ini belum dipenuhi gedung-gedung tinggi. Hotel Indonesia merupakan bangunan tertinggi. Dan hanya ada satu pusat perbelanjaan besar, Sarinah," kenang Obama yang disambut gelak tawa ribuan tamu di Balairung UI.
Obama juga menyampaikan beberapa hal seperti demokrasi, pembangunan, dan agama yang juga penting bagi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan adanya keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia.
Kharisma mantan senator Illnois itu tentu saja tidak terbatas pada kemampuannya melafalkan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan benar, mutu dari pesan yang disampaikannya tentang toleransi antarumat beragama, kebhinnekaan Indonesia, serta kekagumannya terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Seorang penulis dan penyanyi ternama Indonesia, Dewi Lestari, melalui laman "Twitter"-nya pun menuliskan bahwa akustik rongga mulut Obama ideal, suaranya jadi "powerful", gaungnya pas, serta artikulasinya jelas ketika ia mengamati pidato Obama dengan seksama melalui televisi.
Hal senada disampaikan oleh Goenawan Mohamad, sastrawan sekaligus legenda jurnalisme Indonesia, yang memuji kemampuan Obama dalam berpidato di depan umum dengan retorika yang bagus.
Menurut pria yang akrab disapa Goen itu, di antara para pemimpin Indonesia selama ini hanya Bung Karno yang menonjol dalam kemampuan beretorikanya, sementara para penerusnya cenderung kaku dan tidak memiliki kemampuan "menyihir" massa seperti Bung Karno.
"Retorika berkembang atau tidak di masyarakat, terkait dengan suasana dan sistem politik dan tatanan sosial masyarakatnya, ketika tahun 1950-an politik bebas, dan banyak pula rapat umum di lapangan terbuka, retorika jadi penting untuk berkomunikasi," tulisnya dalam sebuah akun "Twitter" miliknya.
Ia kemudian membandingkan perkembangan retorika dalam era kepemimpinan para presiden di Indonesia, seperti pada masa demokrasi terpimpin yang terpusat hanya pada Bung Karno sehingga retorika praktis dimonopoli sang pemimpin besar revolusi.
"Sementara pada masa mantan presiden Soeharto, retorika mati. Bukan hanya karena Soeharto tak pandai pidato, tapi masa itu adalah masanya sistem politik otoriter birokratik, instruksi tak perlu retorika melainkan cukup dengan sanksi, apalagi disertai dengan kekuatan senjata dan teror," tulisnya.
Goen menjelaskan bahwa dalam sistem politik itu yang penting adalah instruksi dari atas, sementara pemimpin tak perlu mengajak dan meyakinkan rakyat, cukup dengan perintah saja.
"Tak ada pemilu bebas, menjadi wakil rakyat ditentukan dari atas, gubernur dan bupati tak dipilih langsung jadi tak perlu pidato," tulisnya.
Goenawan juga menyoroti tentang pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah umum yang tak dikaitkan dengan kemampuan menyampaikan pidato, akting teater, atau debat, bahkan juga komposisinya, sangat berbeda dengan pelajaran bahasa di AS dan di negara lain, maka tak mengherankan Obama pandai berpidato.
Melalui sebuah pertanyaan monolognya, Goenawan bertanya "Kapan kiranya Indonesia punya pidato yang layak disimpan dalam kenangan dari pemimpinnya?"
"Jawabannya, kalau pendidikan bahasa diperbaiki, demokrasi dan kebebasan ekspresi berkembang, serta TV tak diisi acara bincang bincang yang itu-itu saja," katanya.
Dalam kesempatan sebelumnya di Mesjid Istiqlal, Obama berharap kehadirannya itu dapat meningkatkan rasa saling pengertian antarmasyarakat berbagai negara dan agama.
"Saya berharap kunjungan saya dapat mempromosikan saling pengertian (pemahaman) yang lebih besar antara warga dari berbagai negara dan agama karena kita semua adalah anak-anak Tuhan," tulis Obama dalam buku tamu yang ditandatanganinya bersama sang istri.
Ia pun menuliskan bahwa ia merasa terhormat memiliki kesempatan untuk mengunjungi masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut.
"Saya merasa terhormat memiliki kesempatan untuk mengunjungi masjid yang luar biasa ini, yang berdiri sebagai simbol dan peran Islam dalam menuntun kehidupan jutaan rakyat Indonesia," katanya.
Setelah mengunjungi Istiqlal selama 15 menit dan berpidato di Universitas Indonesia selama sekitar 30 menit, Presiden Obama akhirnya meninggalkan Jakarta pada pukul 10.49 WIB dari Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta.
Presiden kulit hitam pertama Amerika itu dilepas oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Jalal.
Bukan insiden istri Pak Dino yang "diseret" di istana, penyambutan pengamanan yang berlebihan terhadap Obama, ataupun kasus salaman Menkominfo Tifatul Sembiring dengan Michelle Obama yang akan diingat warga Indonesia dalam "pulang kampung" Obama yang singkat kali ini, tapi pidatonya di Universitas Indonesia.
Pidatonya yang luar biasa itu seolah mengingatkan `kita` bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang tidak terlupakan, termasuk bagi Barry, sang presiden dari negara adidaya yang pernah tinggal di Jakarta. (PPT/K004)
COPYRIGHT © 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar