Malam itu, musik club menghentak seisi ruangan yang gemerlap lampu kerlap kerlip. DJ memainkan piringan hitam, menggesek-geseknya hingga menghasilkan bunyi yang seolah menghipnotis setiap orang yang ada dalam ruangan setengah gelap itu, lampu remang-remang masih bisa sedikit memberikan kesempatan agar mata melihat ada siapa didepan kita sampai jarak pandang hanya dua meter saja. Sounds system yang dahsyat seolah memecah telinga, namun memberikan energy yang lebih kepada tubuh dan tak kuasa aku bergoyang dengan gaya seperti robot yang batrenya sudah mau habis. Mengikuti setiap hentakkan musik, menganggukkan kepala, dan benar-benar lupa dengan dunia, aku menikmatinya. Ku panggil sedikit teriak ke arah Beno yang sedang asik minum tak beberapa jauh dari kerumanan di tengah lantai dansa.
“ACARANYA KAPAN MULAI?” Katakku sedikit berteriak
Beno yang jauh disana sepertinya tidak mendengar pertanyaanku, dia hanya mengangkat kedua alisnya, isyarat bahwa dia mengatakan “APA?”
Aku hendak mendekatinya, namun agak sedikit kesulitan karena kerumunan orang banyak yang sedang berpesta, dilantai dansa, menikmati tiap senti musik yang menggila, campuran musik R&B, pop, bahkan hip hop yang dikemas menjadi house music.
Lagu The Time Of My Life milik Black Eyed Peas di remix dengan lagu Run The World milik Beyonce, kaki masih mengehentakkan lantai dansa sambil melangkah menuju Beno yang masih asik dengan minumannya.
“Acaranya kapan selesai Ben? Gue mau balik aja, udah capek banget.” Kataku setelah berhasil menjangkaunya.
“Ya elah Yo, baru jam 11 kalee.. nanti aja, bentar lagi deh, tadi kan lo gue yang jemput, biar nanti gue yang anter, nanti nyokap lo ngomel-ngomel.”
“Iya, tapi sampe jam berapa? Gue males sampe pagi-pagi, pengen tidur.”
“Ya udah bentar lagi deh, nanti ada fashion show nya juga, tunggu sampe fashion show selesai baru gue anter lo balik, oke, lo gabung aja sama anak-anak disana biar ga bosen!”
Aku sama sekali tidak mengindahkan perkataan Beno, rasanya sudah bosan ikut ‘melantai’ dan ingin keluar dari hingar bingar malam ini. Aku sedikit menjauh mencari tempat yang lebih tenang.
“Lemon teanya satu Mba” pintaku pada bartender perempuan yang sepertinya lebih muda dari ku. Sedikit kaget dia mendengar permintaanku. Mungkin bingung dengan pesanan yang aku minta, bukan minta ‘minuman’ tapi malah lemon tea. Dia menyodorkan gelas seperempat yang dipinggirnya disematkan buah lemon dipotong tipis.
Aku meminumnya sedikit, kemudian membuka ponselku, melihat apakah sudah ada balasan pesan di Blackberry Messenger (bbm) dari Dara, pacarku.
Tidak ada tanda-tanda bbm balasan darinya. Bbm terakhirku yang mengabarkan bahwa aku akan pergi bersama Beno pun belum dia baca, masih dengan simbol D yang berarti hanya Delivered. Sudah hampir tiga jam aku kirim bbm itu, tapi sama sekali tidak digubris olehnya. Agak sedikit kesal, tapi kutahan, akhirnya kuputuskan menelponnya, terpaksa, karena dia sama sekali tidak meresponnya. Bunyi nada tuut, tersambung ke nomer telponnya. Kutunggu beberapa detik, tidak ada jawaban juga. Satu menit, dua menit, tiga menit, berkali-kali aku hubungi teleponnya, tetap tidak ada jawaban. Aku lihat jam tanganku, pukul setengah dua belas malam, mungkin sudah tidur, pikirku. Aku tutup ponselku dan kumasukkan kembali kedalam saku celanaku.
Suara Dj kembali menggema, dia mengumumkan bahwa acara fashion show akan segera dimulai, musik disko diganti dengan suara instrument yang lebih lembut namun tetap memberikan jiwa agar badan ini tidak diam ditempat, kakiku terhentak dilantai, menikmati musik.
Mataku tertuju pada meja panjang yang terletak di tengah ruangan, yang disulap menjadi lantai catwalk. Satu persatu wanita dengan postur tubuh yang tinggi dan proporsional melenggak lenggok di atasnya, memamerkan busana yang mereka pakai. Dari ujung ruangan seorang host dengan pakaian agak ‘mencolok’ berkumat kamit, menyebutkan nama designer yang membuat baju yang sedang diperagakan sang model, aku menikmatinya.
Seperempat jam berlalu, acara fasion show masih berlangsung, sejumlah model masih sibuk mondar mandir diatas catwalk, dan hentakkan musik membius agar semua mata tertuju pada mereka. Aku meneguk cairan lemon tea terakhir dari gelasku, dan seketika tersedak, berlebihan, ketika mata ini menangkap sosok yang tidak asing lagi, Dara, dia sedang berdiri tak beberapa jauh dari arena catwalk, berkumpul bersama kelompok teman-temannya, aku mencoba mengenalinya, satu persatu, hanya satu orang yang aku kenal, yang lainnya tidak. Dengan refleks aku bangun dari kursi plastik satu kaki, hanya satu tujuan, mendekati Dara, pacarku.
House music kembali di putar, dan setiap orang yang aku temui di lantai dansa itu semua bergoyang menikmatinya, menyatu bersama malam, dibuai oleh sounds system yang menggema-gema ditelinga. Beberapa langkah lagi aku sampai ke tempat Dara berdiri bersama teman-temannya, aku yakin dia tidak sadar bahwa aku ada disini.
“Sorry,”
Seseorang mendahului langkahku, sedikit menyingkirkanku yang hanya berjarak beberapa centi dari Dara, tubunya mungkin beberapa inchie lebih tinggi dari badanku, dan beratnya mungkin sekitar 10 atau 20 kilo lebih berat dari badanku, aku menghentikan langkah kakiku, memandangi Dara dari arah berbalik, mengurungkan niat untuk memanggil namanya.
Orang yang baru saja melewatiku tiba-tiba saja mengalungkan tangannya ke tubuh Dara, mesra, mereka berdua saling pandang, menikmati alunan musik yang masih dimainkan sang DJ. Dara terlihat sangat bahagia berada didekapan lelaki itu, aku mengamatinya dari sini, hanya beberapa centi darinya, musik DJ menghempaskan pikiranku.
Tangan ini berkeringat, hati luar biasa kejar-kejaran dengan suara musik yang dicampur aduk dipermainkan oleh disk jokey. Aku membalikkan tubuh membuang jauh niat untuk menemui Dara. Seketika ruangan menjadi panas, seperti ada tungku api yang dibuka lebar-lebar, seperti matahari yang membakar. Pantas saja dia sama sekali tidak menggubris bbmku dari sore tadi, bahkan telponku tak diangkatnya. Rasa kesal bercampur aduk, di mix seperti musik yang sedang diputar oleh DJ, aku melayang, seperti melambung kelangit ketujuh, kemudian terjatuh kembali kebumi, terhempas, hancur berkeping-keping. Membalikkan badan keluar dari lantai dansa. Para model masih saja melenggak lenggok di atas catwalk, dan sebagian orang menari tak tentu dilantai dansa, berpasangan, sendiri, atau bersama-sama dengan teman mereka, aku keluar dari kerumunan itu, keluar dari hiruk pikuk itu, menjauh dari manusia-manusia yang ‘melantai’.
Ubun-ubunku panas, pikiranku menerawang, pergi melewati lorong waktu melalui pintu kenangan, saat tiga bulan lalu...
***
Kita sama-sama janji bahwa kita akan saling menjaga hati. Kita sama-sama janji bahwa kita tidak akan saling menyakiti, kita sama-sama menghargai untuk saling mengasihi, dan kita sama-sama mengetahui bahwa kita tahu apa yang belum diketahui, dengan kepercayaan, aku dan kamu pasti bisa melewati semua ini, hubungan kita, jarak usia kita, latar belakang keluarga kita, kehidupan kamu, kehidupan aku, teman-temanmu, teman-temanku, hobimu, dan hobiku, apa yang tidak aku sukai dan apa yang kamu sukai, kita harus saling menghargai, aku yakin pasti kita bisa melewati ini.
Pembicaraan yang agak serius dilewat tengah malam dari ujung pesawat telpon. Hampir satu minggu Dara menyatakan bahwa dia bersedia menjadi milikku, dengan satu syarat, bahwa kami harus saling menghargai satu sama lain, dan aku menyetujui persyaratan itu. Luar biasa bahagianya kala itu, kuputari hampir lima puluh putaran joging track yang setiap akhir pekan aku lalui, saking bahagianya hati ini karena akhirnya cinta bertepi pada satu hati. Hari demi hari kita lalu bersama meski jarak memisahkan kita, hanya soal kota, dan hanya soal waktu, kita terpisah, awalnya aku menganggap itu hal biasa, sampai akhirnya aku dapati satu hal yang nyata tentang dirinya, bahwa aku bukan satu-satunya dihatinya, ada lelaki lain, yang sedang bersiap-siap menyambut dirinya. Dan dia berkata, membuka hatinya, berusaha, atau mencoba, menerima, dan ternyata itu ada sudah sejak lama.
Awalnya aku kaget, namun dalam hati ini justru malah berfikir nyata, bahwa ini adalah tantangan untuk memperebutkan hatinya, aku akan bersusah payah meski berpeluh resah untuk memenangkan hatinya. Selama berminggu-minggu selalu mendengar ceritanya, semua biasa saja, tidak ada yang berubah, hanya soal rasa, lambat laun akan terbiasa. Terkadang disela-sela bicara juga aku selipkan canda soal hubungannya dengan dia disana yang menang telak satu kosong karena mereka lebih dekat soal jarak dibanding aku, aku abaikan hal itu.
****
Kaget, Beno menepuk pungggungku dari belakang.
“Woy! Gue cariin didalem pantes aja gak ada, ngapain lo disini? Ayo buruan masuk, bentar lagi beres kok, baru abis itu gue anter lo balik, eh didalem ada Dara tuh, udah ketemu belom?” Beno merangkulku dan memaksaku untuk masuk lagi kedalam club, aku menurutinya, meski lemas sepertinya sekujur tubuh ini, mual kalau harus membayangkan bertemu dengan Dara, mengenalkanku dengan teman-temannya, dan, kekasihnya.
*****
Sakit rasanya jadi yang kedua,
Awalnya memang aku menerima bahwa itu hal biasa,
Sekali lagi aku katakan kalau itu hanya soal rasa,
Nanti juga pasti akan terbiasa,
Bulan ditarik ketanah, dan air laut di lempar keudara,
Tidak mungkin,
Kenyataan yang aku dapati adalah bahwa aku tidak bisa terima,
Mual adalah ketika kita lihat dia sedang berdua dengan orang yang dicinta,
Dan cemburu membabi buta namun apa hak kita?
Ingin ku caci ku maki kulukai, tapi tak sampai hati,
Sekali lagi ini hanya soal rasa,
Aku harap akan terbiasa,
Menggila karena tahu akhirnya akan terluka,
Duniawi ketika rasa cemburu membuat luka,
Namun ini soal rasa,
Semoga akhirnya akan terbiasa.
Melawai, 18 Oktober 2011, 22:00 pm
NYESEEEKKK!!! ampuun dehh tabah amat itu tokoh utamanya.. kaya yg nulis yahh sabar nya :D *kaaabbuurr*
BalasHapus