Selasa, 08 November 2011

ORIONID



Dan terbentang sayap Deron yang berwarna perak saat dia melompati pohon kering yang tinggal tersisa batang-batangnya saja. Mukanya kesal, memerah, tubuhnya yang hanya sebesar ibu jari itu melayang-layang tidak tentu arah meliuk liuk terbawa angin. Kepak sayapnya memastikan dia menuju kemana, pondok coklat kecil yang terletak diujung desa, kampung Rorota.
Foto taken from Google

Mama: Seperti biasa, pulang kerumah mukanya masam, pasti gara-gara Regol?
Deron: (Bertolak pinggang) Siapa bilang, aku hanya kepanasan, cuaca diluar sangat panas, mataharinya sangat terik Ma, sudah, aku mau kekamarku dulu.
Mama: Tidak mau habiskan madumu dulu Deron? (Mama menawarkan semangkuk madu merah pekat dan sangat kental kepada Deron yang hendak masuk kekamarnya)
Deron: (tidak menjawab, menutup pintu kamarnya yang terbuat dari kayu oak, lalu menguncinya dari dalam)
Mama: (Mencoba mengetuk pintu) Deron, berapa kali mama bilang, jangan berteman dengan Regol dan kawan-kawanya, mereka bukan anak baik-baik, mereka terlalu brutal, Mama tidak senang kamu berteman dengan mereka. (Mama kembali mengetuk pintu perlahan, membujuk Deron)
Deron: (Dari dalam kamarnya, menutup telinganya dengan topi kupuluknya, menariknya hingga kebagian leher)
Mama: Baiklah, mama simpan jatah madumu siang ini di lemari pendingin, jangan sampai dihabiskan Melda, adikmu sebelum ia pulang dari kelas terbangnya. Mama mau ke rumah Bibi Lora, sejam nanti kembali. (suara pintu tertutup dari luar, dan kemudian hening).

****

Diceritakan ada sebuah kampung bernama Rorota, hiduplah sekelompok kecil  manusia dengan wujud seperti kurcaci, mereka sekecil ibu jari. Bentuk tubuhnya persis seperti manusia, hanya saja mereka sangat kecil. Menurut cerita yang beredar dan turun temurun dari generasi mereka, mereka adalah sejenis peri rumah yang hidup sangat jauh dari bumi. Mereka hidup di sebuah garis orbit bernama Orion. Bentuk mereka sama dengan manusia, hanya saja mereka memiliki kulit berwarna jingga, dan ada sayap yang terbentang dipunggung mereka, mereka bersinar disetiap gelap datang.

Tidak banyak populasi mereka, satu kampung itu hidup seperti keluarga besar yang tinggal dalam kompleks. Mereka saling mengenal satu sama lain, hidup damai dan bersahaja. Tidak ada korupsi, tidak ada demonstrasi, tidak ada polusi, semua bersahaja dalam hidupnya. Terkecuali remaja bernama Deron, hidupnya sangat penuh masalah. Anak tertua dikeluarga Betelgeuse ini memiliki rasa percaya diri yang sangat sedikit, badannya yang kurus, berbicaranya yang sedikit cadel, dan kesialannya yang luar biasa dimanapun ia berada membuatnya semakin merasa bahwa dialah yang paling berbeda di kampungnya sendiri. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan kekesalan, ejekan dari teman-teman seumurnya, terutama dari temannya yang bernama Regol membuat Deron semakin benci dengan kehidupannya di kampung Rorota itu. Ayahnya Betelgeuse adalah seorang penasehat hukum di kampungnya, ayahnya terkenal sebagai orang yang cerdas, berwibawa, dan memiliki kemampuan bersinar dengan tiga warna bergradasi dalam gelap, semua orang sangat menghargai Betelgeuse, Ayah Deron, sang Maha Agung.

****

Malam yang cerah, cahaya bulan yang redup tak menghalangi anak-anak kampung Rorota bermain disepanjang sungai Eridanus. Aliran sungai dari jauh terlihat berwarna perak, berkelap kelip disepanjang hulu sungai, cahaya yang terpancar dari tubuh-tubuh mungil mereka. Suara nyanyian dari dahan-dahan pohon yang rendah seperti paduan suara yang teratur ritmenya. Disana, didahan-dahan pohon itu, berkumpul gadis-gadis cantik dari kampung Rorota, rambut mereka tergerai indah, menggunakan gaun malam yang terbuat dari sutra tipis panjang berwarna biru. Cahaya yang keluar dari tubuh mereka berwarna abu-abu cerah, mereka duduk didahan-dahan kayu, bernyanyi. Daron, duduk di batu paling ujung hulu sungai, sendiri, cahayanya berwarna putih terang, dia tidak ingin bergabung dengan teman-temannya, bosan rasanya dia menjadi bulan-bulanan Regol dan kawan-kawannya. Matanya tertuju ke sungai Eridanus, disana ada bayang-bayang samar dari sosok gadis berambut hitam tipis yang duduk di dahan pohon tak jauh darinya, Mintika namanya, sudah lama sekali Deron menyukai mintika yang berlesung pipi, suaranya yang paling merdu diantara suara-suara yang bernyanyi malam itu.

Kebiasaan berkumpul di hulu sungai ini ada setiap menjelang akhir bulan menuju musim semi, sebelum kelopak lili terbuka, anak-anak kampung berkumpul disepanjang hulu, ingin menyaksikan kedatangan Canis Major, atau anjing pemburu yang berburu diatas air sungai perak. Canis Major melewati kampung rorota setiap akhir bulan, dan menurut mitos yang beredar di kampung Rorota, Canis Major itu adalah portal waktu yang menghubungkan antar rasi bintang, bahkan bisa sampai ke bumi. Namun, satu hal yang paling ditungggu-tunggu oleh anak-anak kampung Rorota di hulu sungai Eridanus adalah, bulu dari Canis Major yang kabarnya dapat mendatangkan keberuntungan.

Hari makin larut, namun hulu sungai semakin ramai oleh kedatangan warga-warga Rorota yang ingin juga menyaksikan kedatangan Canis Major dan melihatnya langsung melintasi sungai. Deron masih duduk dibatu yang sama, persis disampingnya sungai berwarna perak mengalir. Hawa dingin kian merasupi tubuhnya, dia melipat kedua tangannya kedalam jaket, sayap mungil dipundaknya berkibas perlahan, ada pertanda, nyanyian dari gadis-gadis didahan pohon semakin terdengar pelan, dan lama-lama berhenti. Ada bisik-bisik dari kerumunan warga yang datang, sampai akhirnya hening mencekam, Daron memandang keseluruh cahaya yang berjajar dihulu sungai, semua orang tertuju pada satu sinar emas mendekati mereka dari kejauhan, hening, Canis Major tiba.

Deron mempersiapkan dirinya, kali ini dia tidak akan gagal mendapatkan sehelai bulu dari Canis Major, sayapnya terkembang, membawanya sedikit terangkat dari batu tempat dia duduk, matanya fokus pada Canis Major yang masih terlihat titk emas yang kian lama kian jelas. Hentakkan kaki canis major seperti suara sepatu kuda, begitu cepat terdengar menderu-deru berkecipakkan diatas sungai, Canis Major semakin jelas terlihat mata, bentuknya seperti unicorn namun lebih kecil, moncongnya seperti anjing namun, di bagian belakang ekornya ada rambut yang bersinar, berkelap kelip, itu yang ditunggu, rambut keberuntungan, terhempas angin-angin, melambai seperti tak bertulang. Ada ketakutan yang mencekam ketika Canis Major kian mendekat, meraung terdengar keras dan memekakkan telinga, memecah air sungai Eridanus yang perak. Deron bersiap-siap, sayap munglinya, mengepak keras membelah udara, dia akan nekat menyergap buntut belakang Canis Major, semakin mendekat, semua mata terkesima menyaksikan keagungan Canis Major yang membuat kulit mereka dingin, mereka ketakutan sekaligus terkesima menyaksikan pemandangan yang hanya bisa mereka lihat sebulan sekali itu.

Seperti sinar meteor yang meluncur membelah galaxy, Canis Major berlalu diantara gemercik air sungai Eridanus, sekelibat, dan Deron menghilang.

****
Foto by google

Deron berteriak, semangat, hingga urat dikedua lehernya terllihat jelas, dia terhempas seperti melesat bersama meteor, terbang secepat kilat di langit. Bergelayutan diantara bulu-bulu Canis Major. Matanya tak dapat melihat dengan jelas karena cahaya diantara bulu-bulu yang gemerlapan, dia masih terus berteriak WOHOOOOOO!!!! YEAAY!!! AKU DAPAT!!!!!
Ikut melesat diatas sungai  Eridanus yang menuju ke arah utara, kedua tangannya memeluk bulu Canis Major, kuat. Tidak sampai sepersekian detik, Deron merasakan ada yang aneh, udara kian menipis, dan dingin terasa menusuk tubuhnya berlipat ganda, Canis Major menghentikan langkahnya, menepi dari sungai Eridanus, melompat keatas pohon-pohon, mencapai puncak pohon, dan melonglong, memecah kesunyian sepertiga malam yang semu dari sinar rembulan dan guratan meteor yang berkelibatan di angkasa. Deron tersadar, sontak kaget bahwa dia menemukan dirinya masih dipunggung Canis Major, kikuk, dan panik menjadi satu, namun dengan cepat kali ini dia mengepakkan sayapnya, setelah menarik sehelai bulu dari buntut Canis Major yang belum sadar akan keberadaannya.

Deron terbang, menuju kampungnya, Rorota. Luar biasa rasanya dia bisa menunggangi Canis Major yang melegenda itu. Tidak sia-sia dia nekat untuk meluncur kebawah kaki Canis Major ketika membelah sungai Eridanus beberapa jam lalu. Ditangannya menggenggam sehelai bulu Canis Major berwarna perak, masih berkelap kelip namun lemah. Senyum mengembang tak hentinya dari wajah Deron, bergelora rasanya saat dia mengepakkan sayap membelah udara malam yang kian dingin, tak ada satu ketakutan apapun mengikutinya kali ini. Luar biasa, itu yang terus melayang-layang dalam pikirannya, melihat kedalam genggaman tangannya.

Pintu pondok rumah Deron dibukanya perlahan, melangkah diantara bunga-bunga lili yang siap mekar esok pagi, perlahan menapaki batu-batu, hati-hati takut menginjak daun kering atau ranting yang jatuh dari dahan pohon. Matanya tertuju pada kamar paling atas, kamar Mama dan Ayahnya, yang Maha Agung, Betelgeuse, sepertinya mereka semua sudah terlelap tidur.

****

Dua minggu pasca keberhasilan Deron mendapatkan bulu Canis Major, tetap tak ada yang mengetahui hal itu, bakan Ayahnya, Betelgeuse pun tak tahu sama sekali bahwa anaknya yang selama ini ‘sangat’ biasa itu berhasil mendapatkan bulu Canis Major. Dalam hari-harinya, Deron masih terlihat biasa saja, tidak ada perubahan, hanya saja, sekarang dia lebih beruntung dibanding Regol musuh besarnya. Tidak ada lagi ejekkan dari teman-temannya, tidak ada lagi kecelakaan sayapnya tersangkut di ranting pohon ketika lomba terbang setiap sore hari. Sampai pada sore itu, dia bertemu dengan Milika yang baru saja mengumpulkan bunga lili.

Milika: (memandang Deron bersemangat) Entah kenapa sekarang aku lihat kau sedikit berbeda dari yang biasanya. (menatap Deron dari ujung kaki sampai kekepalanya).
Deron: (gugup) apakah itu berarti kau memperhatikan aku Milika? (tidak berani menatap mata Milika yang berwarna hijau muda).
Milika: Selalu, kau yang paling beda diantara yang lain! (duduk di batu sambil memilin rambutnya).

Mulailah sejak saat itu, kehidupan Deron berubah total. Tumbuh keberanian dalan dirinya dan kepercayaan diri yang luar biasa. Meskipun tubuhnya kurus, dan tidak sebanding dengan Regol dalam bertarung, Deron memiliki kemampuan mengendalikan diri yang sangat baik. Bulu Canis Major yang katanya membawa keberuntungan sesungguhnya tidak Deron rasakan sama sekali, tapi dia sadar ada hal-hal kecil yang jadi berbeda. Dia dan Milika sekarang jadi sahabat dekat, kemanapun mereka pergi selalu berdua. Tidak ada lagi ejekkan yang dia dengar, bahkan kesialan yang datang bertubi-tubi semakin berkurang.

Sebulan berlalu setelah Deron berhasil mendapatkan satu helai bulu dari Canis Major, itu berarti akan ada pertemuannya kembali dengan Canis Major di hulu sungai Eridanus. Seperti biasanya, semua warga kampung Rorota kembali berkumpul ingin melihat Canis Major. Malam ini, tidak seperti malam satu bulan lalu saat Deron belum mendapatkan bulu Canis Major. Tiba-tiba saja dia merasa ada sesuatu yang berbeda, dia merasakan dingin yang luar biasa, dia membuka kantung di belakang jaketnya, bulu Canis Major itu kembali menyala terang, berkelap kelip, melebihi sinar yang memancar dari tubuhnya, ada sedikit ketakutan yang menjalar ditubuh Deron, tapi dia bisa menguasai dirinya. Duduk berdampingan dengan Milika didahan rindang diatas sungai Eridanus yang berwarna perak, menanti Canis Major.

Kali ini tidak menunggu lama, kedatangan Canis Major sangat cepat, berbeda sekali dengan bulan lalu, ada angin yang menyertainya, angin yang sangat kencang, setiap orang yang berada disepanjang hulu sungai saling berpegangan, bahkan ada yang memilih untuk kembali kepondok mereka masing-masing. Semakin kencang angin berhembus, Deron berpegangan erat didahan pohon, bersama dengan Milika, ada ketakutan di wajah mereka. Tiba-tiba saja, saat bersamaan seperti kilat yang lewat, Canis Major melesat, Deron terbawa bersamanya, hilang sekejap mata, Milika sadar bahwa Deron sudah tidak bersamanya, menghilang.

****

Dibelahan langit yang berbeda, cahaya matahari memancar begitu terik, terdengar suara yang sangat bising dari kendaraan yang berlalu lalang, klakson mobil, dan bau asap yang menyengat, Deron membuka mata, menyadarkan diri, melihat kesekililngnya, selamat tinggal Orionid. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label