Nafasku terbelenggu olehnya,
Bukan cinta, ya, tentu saja bukan cinta.
Dalam mimpiku,
ku hirup basahnya kuncup teratai
yang disestiap juntaian kelopak merah jambunya
menebarkan aroma yang meracuni setiap aliran darahku.
Beban ini begitu berat terpikul,
di antara kedua sisi punggung yang mulai menua.
Hanya letupan semangat yang bisa memacuku agar aku bisa bertahan.
Dan terpaan angin dingin ku biarkan menembus tulang belualang ini,
ku biarkan mereka menguasai nirwana yang masih tersisa ditubuhku.
Aku adalah imbas dari ribuan takdir yang sudah terlanjur tertulis
di catatan sang penguasa,
dan aku hanya bisa berusaha agar aku lepas dari tangan suratan takdir itu.
Atau paling tidak, aku akan tetap bertahan daam derita.
Rasanya au ingin sekali tenggelam kedasar samudera,
menemukan sisi dunia yang hanya berhias ganggang dan lumut mempesona.
Di satu sisi yang merengek kedamaian dan setitik ketenangan.
Tapi aku sadari, aku kini sedang menepaki
sebuah cerita tanpa shymponi.
Ada sebuah kutipan puisi yg aku lekatkan dari pujangga lampau yg selalu abadi:
Suatu Cinta yang dayanya
Memisahkan pikiran dari dunia
Kuantitas dan ukuran…
Suatu cinta yang berbicara manakala
Lidah kehidupan membisu…
Suatu Cinta yang tegak laksana
Mercusuar biru yang menunjukkan jalan
Membimbing tanpa sinar
Yang tampak…
(Kahlil Gibran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar