Langit sore yang cerah, sepenggal mataharinya masih tertutup gumpalan awan yang bermain dilautan angkasa. Aku dan Bimo, memasuki rumah bergaya klasik yang terletak di Selatan Jakarta. Memasuki rumah itu sudah terasa suasananya yang berbeda, iringan musik gamelan yang disusul dengan tiupan seruling bambu, benar-benar gemetar aku melangkah menginjak lantai demi lantainya. Disetiap sudut ruangan dipasang foto-foto pernikahan dengan berbagai macam model. Ada etalase-etalase yang memamerkan gaun pengantin dan pakaian-pakaian pelengkapnya. Aku menggenggam lengan Bimo erat, Bimo senyum kepadaku. Tak berapa lama kami sampai di lantai dua dari bangunan bercat tembok merah marun itu, sesorang sudah siap berdiri menyambut kami.
“Wah, calon pengantinnya sudah datang, ayo sini mari, pesanan gaun pengatin kalian sudah masuk tahap akhir, tinggal finishing saja, Rena biar sama Ibu, kamu Bimo ikut dengan Mas Giring diruangan pria sana ya nduk, biar Rena Ibu bawa dulu untuk cicipi baju pengantinnya, nanti kalau sudah siap Ibu panggil.” Panjang lebar wanita paruh baya itu menjelaskan. Ibu Anggoro namanya, dia adalah designer ternama di Jakarta, khusus untuk pakaian pernikahan. Aku mengikutinya dari belakang, menuju ruangan yang agak lebar.
“Sini nduk, ini tho baju pengantin yang bakal kamu pakai nanti pas resepsinya, coba sini-sini kamu lihat dulu, sekalian kamu cobain, biar Ibu bisa lihat pas apa ndak dibadanmu.”
Aku menurutinya, melepaskan pakaian yang kupakai dan menggantinya dengan pakaian pengantin. Sebetulnya hanya sebuah kebaya ‘impianku’ terbuat dari beludru berwarna perak dan emas, terlihat begitu elegan potongannya, setiap detail jahitannya, aku memandangi indah tubuh ini bergelut busana pengantin ‘impianku’, keluar dari dalam ruangan, dan menampakkan diri didepan Bu Anggoro, sambil tertunduk malu-malu, mataku tertuju pada cermin yang terpasang disudut ruangan, cermin besar yang menangkap keseluruhan bentuk tubuhku yang terbungkus kebaya panjang berwarna perak.
“Owalah ayu tenan anakku wedok.. Pas tenan klambi manten iki kanggo kowe nak..” ucap Bu Anggoro begitu bersemangat. Kemudian dia merapikan keseluruhan pakaian yang aku kenakan, melipat bagian-bagian yang sengaja ia tandai untuk diperbaiki disetiap sudut yang melekat dibadanku. Sampai pada bagian pundak bu Anggoro menyingkap potongan jahitan baju kebaya dan,
“Aduh, bu jangan keras-keras pegang tanganku.” Aku menyeringis kesakitan, menghindari tangan bu Anggoro yang baru saja memegang bahu lengan kananku. Penasaran sepertinya, bu Anggoro meraba luka memar di bahu lengan kananku, memandangiku dengan tatapan iba, dia memaksaku untuk bercerita…
***
Café Victoria, aku menunggu Bimo menjemputku yang baru saja mengikuti acara press conference dan media screening film The Smurf. Sambil menunggunya aku sedikit membuat review untuk dikirim ke editorku terkait film yang baru saja aku tonton bersama teman-teman pers lainnya. Dua jam berlalu, kulihat arloji kulit yang melekat dilengan kananku, pukul sepuluh malam. Harusnya sejak dua jam lalu Bimo menjemputku, tapi sampai sekarang aku tak melihatnya tiba disini. Review tulisan sudah selesai sejak tadi, tak hentinya aku kirim Bimo pesan sngkat sms, dan kuhubungi kenomor ponselnya, tetap tidak ada jawaban, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taxi.
Pukul satu malam, mata ini tak kuasa membuka kelopak mata, kantuk merajai tubuh, namun ketukkan pintu kamar kostku berkali-kali membuatku tidak nyaman, akupun terpaksa bangun dan melihat siapa yang datang pagi-pagi buta begini.
Bimo, aku lihat dia gusar diluar saat aku intip dia dari balik gorden tipis yang menutup jendela kamar. Aku menguncir rambut panjangku, lalu merapikan baju tidurku. Ada apa dia datang hampir pagi begini. Kubuka pintu, tanpa sepatah katapun, Bimo yang sangat aneh tampangnya saat itu langsung menerobos masuk kedalam kamar kostku.
“Bagus ya, aku jemput kamu ke Victoria dan kamu sudah pulang? Kemana kamu?”
Aku kaget, bukannya pertanyaan ‘kemana kamu’ itu seharusnya aku yang berhak menanyakannya? Ada yang salah dengan Bimo malam ini, selalu seperti ini.
“Lho, aku hubungin kamu Bim, dua jam aku tunggu di Victoria, kamu ga ada kabar sama sekali, ya aku langsung pulang, ngapaian aku nunggu kamu yang ga ada kabarnya.” Aku membela diri.
Bimo tak mau kalah, bicaranya semakin keras, dan ada ketakutan menjalar disekujur tubuhku, terulang lagi. Dan keributan karena hal kecil dimalam setengah pagi itu kembali pecah. Amarah Bimo memuncak lagi, dan sepertinya dengan sadar memukul keras kebagian bahu kananku setelah dia menamparku dengan sangat keras. Aku berusaha melawan, namun semakin aku melawan, Bimo semakin terlihat buas, pukulannya tak henti-hentinya ketubuhku, dia memecahkan segala benda yang ada didekatnya, melemparkannya kepadaku, aku menghindar sebisaku, rambut panjangku habis dijambak olehnya, aku tak kuasa melawan, hanya pasrah, amarah Bimo menggila, sampai dia menuduhku bahwa teman kerjaku yang mengantakanku pulang kesini, teman kerjaku yang selalu dia cemburui dan dijadikannya alasan untuk terus memukulku.
“Kamu diantar Arya kan pulang kesini? Ngapain aja tuh si brengsek kesini? Gak kapok dia berurusan sama gue!”
Percuma aku menjelaskan panjang lebar, aku hanya bisa diam menangis, kesakitan. Ingin rasanya melawan, tapi rasa sayang ku ke Bimo melebihi segalanya, dan aku tahu pada akhirnya pasti akan percuma karena dia yang lebih kuat, biar saja aku yang mengalah.
Aku masih terisak, menahan rasa sakit bekas pukulan Bimo, kutengok jam dinding dikamar kostku, pukul dua pagi. Bimo duduk di ujung ruangan, di sofa sudut yang menempel pada tembok, aku terus memandanginya, ada wajah penyesalan dari sudut sana. Masih tak beranjak, duduk dilantai memeluk kedua kakiku, menahan sakit pada punggung, dan menahan sakit dalam hati karena selalu dituduh selingkuh. Bimo bangun dari sofa, mendekatiku, ada air mata yang menetes dikuda belah matanya, dia memelukku, sangat erat, penyesalan datang, terlambat!
“Maaf…”
Kata itu keluar dari mulutnya yang beberapa saat lalu mencaciku, aku tak menjawab, mengabaikan, diam lebih baik ketimbang aku berbicara tapi sia-sia, tidak akan menyembuhkan rasa sakit dibadan dan hatiku. Bimo tahu betul apa yang dia lakukan padaku, tapi masih saja berlaku seperti itu, berkali-kali. Kata maaf seolah bisa membayar semua yang telah dia lakukan kepadaku. Dan gilanya, hanya dalam hitungan menit, aku bangkit, mengalah, seolah-olah tidak pernah terjadi apapun, bersikap biasa, mencoba tegar, dan berfikir bahwa Bimo satu saat pasti akan berubah, semoga saja.
***
Delapan tahun, hubunganku dengan Bimo berjalan, seperti naik turun bukit, aku yang dengan tulus mencintai dia, menerima segala kekurangannya, sikap kasarnya kuanggap sebagai simbol dari kasih sayangnya kepadaku, sedikit gila memang, aku yang teraniaya memandang hal tersebut adalah ungkapan sayangnya terhadapku. Dan aku menangis dipundak Ibu Anggoro yang sudah sangat aku anggap sebagai Ibu angkatku. Dia mengelus rambutku perlahan penuh kasih sayang. Tidak banyak dia berkomentar soal hubunganku dengan Bimo. Bu Anggoro hanya mengatakan, cinta bukan berarti menyakiti, cinta itu saling berbagi kebahagian, kalaupun sedih dan sakit, itu harus dibagi bersama, bukan ditelan sendiri-sendiri.
Aku memikirkan kembali kalimat terakhir bu Anggoro kepadaku, memikirkannya berhari-hari, berminggu-minggu, hingga sampailah pada akhirnya hari yang ditunggu-ditunggu, hari pernikahanku dengan Bimo.
Gaun pengantin, kebaya dengan jahitan benang emas dan perak membalut tubuhku yang aku lihat sendiri begitu sempurna, hiasan diwajahku, sanggul, bunga-bunga melati yang melingkar dikepalaku, dan kain batik yang melingkar dibawah kebayaku, semua sempurna, Bu Anggoro menyulapku bak ratu kraton Solo yang baru keluar dari peraduannya dikala purnama bersinar, luar biasa. Aku mengepalkan rangkaian bunga dikedua tanganku, menuju pelaminan dimana aku dan Bimo akan bersaksi akan terikat dalam satu ikatan tali pernikahan.
Seharusnya ini adalah hari yang paling luar biasa untukku, semua orang berdoa untukku, bersuka cita menyambutku, dan bergembira menyertainya. Aku, tertutup kabut abu-abu, gamang menguasai pikiran dan alam bawah sadarku, bahagia dan sisa sisa luka jalan beriringan. Alunan musik gamelan dan seruling bambu menggema sepanjang aku melangkah menuju Bimo yang ketika itu aku lihat begitu tampan. Aku memang sangat mencintainya, dia sempurna untukku, begitupun sebaliknya.
Setiap langkah menuju pelaminan, aku gemetar, hati ini takut sekaligus cemas, perkataan Bu Anggoro waktu itu kembali berputar-putar mengitari pikiranku, terus berulang-ulang, cinta bukan berarti menyakiti, cinta itu saling berbagi kebahagian, kalaupun sedih dan sakit, itu harus dibagi bersama, bukan ditelan sendiri-sendiri.
Aku bingung memulainya dari mana, ketika pertanyaan apakah aku siap menemani Bimo dalam suka dan duka, menjadi istrinya dalam sehat dan sakit, sampai maut memisahkan, aku menunduk, memikirkan setiap kejadian yang telah aku lalui selama delapan tahun bersama Bimo, aku terhenti dalam putaran waktu yang menarikku diantara persimpangan buntu, aku mendengarkan hati dalam diam, mendengarkan suara apa yang paling terdengar, sontak kembali kedepan Bimo yang dengan sadar menyentakkan lengannya dengan keras kepinggangku, memintaku menjawab pertanyaan sang penghulu, dan, seketika, aku menggelengkan kepalaku, menatap Bimo dalam diam, hujan turun bersamaan, aku berlari meninggalkan pelaminan, semoga akan ada bahagia setelah cinta ini aku tinggalkan…
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar