Selasa, 08 November 2011

DRAMA LIMA TAHUN




Usiaku lima tahun kala itu. Berpakaian lengkap dengan baju lengan panjang, jeans beludru, dibalut mantel kulit buatan lokal, tidak lupa topi kupluk abu-abu pemberian eyang sebelum beliau meninggal. Sore itu langit sangat bersahabat, berupa baik dengan gumpalan awan-awan yang menyerupai kura-kura, jerapah, gajah, bahkan aku bisa membayangkan ada yang bentuknya mirip dengan robot robocop yang sudah rusak. Aku bermain kubik di latar depan rumahku. Tidak henti-hentinya kening ini berkerut, karena berfikir keras ingin membangun apa dari potongan-potongan kubik itu. Setengah jadi bangunan tinggi, seukuran tubuh kecilku yang tidak sampai satu meter. Kemudian aku loncat kegirangan, karena melihat hasil karyaku selesai. Dan tidak terhitung beberapa menit aku senang, tiba-tiba saja pria yang tubuhnya lebih tinggi datang menghampiriku kemudian menendang bangunan balok yang sudah susah payah aku bangun. Dia tertawa liar melihat kubikku berhamparan, aku melepas kupluk abu-abuku, mendekap kedadaku, ketakutan, lalu menangis, menangis keras, takut karena orang itu malah semakin tertawa kencang. Aku juga menangis semakin kencang, orang itu meledekku, semakin mentertawakan ku, lalu dia mendorongku kebelakang, sampai aku jatuh terduduk, tangisku makin keras, terisak-isak, menutup mataku dengan kupluk, dia masih berdiri mentertawakanku. Pintu pagar berderit cepat, dan aku mendengar suara langkah kaki yang berlari semakin mendekatiku, aku tidak berani menatapnya, masih menutupi mataku dengan kupluk sambil terisak, tersedu. Sampai aku sadar, merasakan tubuhku terangkat, aku buka kuplukku dan kulihat tatapan mata coklat dengan garis keriput dibawahnya, dia memelukku.. Ayah... aku balas memeluknya. Aku dalam pelukan Ayah, ku dengar lelaki yang tadi merobohkan bangunan kubikku diusir oleh Ayahku, Ayah seperti marah besar, lalu dia kembali menurunkanku setelah menutup pintu kayu yang berderit. Aku masih terseguk, mengelap sisa-sisa air mata, mukaku memerah saat itu, aku ingat betul, Ayah senyum kepadaku, memelukku lagi, membenarkan kerah bajuku, memakaikan kupluk kekepalaku lagi, lalu, mengumpulkan potongan-potongan kubik yang berserakan. Kemudian Ayah mengajakku membangun kembali kubikku menjadi bangunan kesukaanku, aku kembali tertawa riang, satu persatu kubik kami susun, sampai menjadi bangunan tinggi. Tiba-tiba saja, arak-arak gajah, jerapah, dan robot robocop yang berterbangan di awan berubah warnanya menjadi gelap, seketika hujan turun. Ayah dengan sigapnya menggendongku, menarik tas kerjanya yang dia lupakan, dan membawaku berlari keberanda rumah kami yang sederhana. Hujan turun, aku dan Ayah tersenyum melihat bangunan kubik kami tersiram air hujan dihalaman, jariku gemetar sedikit kedinginan, mantelku juga basah, sadar akan hal itu Ayah langsung membawaku masuk kedalam rumah.

***
Malam berlalu, Ayah menina bobokanku diatas kasurku yang tebal berselimut lapis tiga. Diluar masih hujan, sangat deras. Setelah membuatkanku cokelat panas, Ayah membacakan cerita dari negeri pinokio, aku sangat suka cerita itu, berkali-kali diulang tapi tidak penah bosan, lucu membayangkan jika kita bohong, maka hidung kita akan memanjang, kadang aku dan Ayah tertawa bersama ketika Pinokio terpaksa berbohong dengan Ayahnya yang menciptakan dia. Lampu kamar dipadamkan setelah Ayah melihatku tertidur pulas. Kemudian ia keluar dan meninggalkan kamarku. Tapi satu waktu juga aku mendapati Ayah tertidur disebelah kasurku, duduk disampingku diatas kursinya tempat ia bercerita, aku yang terbangun sesekali berbagi selimut dengannya, memandang wajahnya yang kelelahan.
Malam itu aku sepertinya aku tidak bisa tidur pulas, terbangun disepertiga malam, lalu masih dengan pijama kotak-kotak aku turun dari kasur, ingin menemui Ayahku di kamarnya. Bunyi pintu ku berdecit pelan saat aku membukanya, perlahan aku melangkah, aku melihat lampu ruang tengah dibawah masi menyala, berarti masih ada Ayah disana, mungkin sedang nonton TV pikirku. Lalu aku menuruni anak tangga, sama-samar mulai aku dengar suara-suara, suara yang sudah lama tak kudengar dirumah ini, aku lupa berapa lama saat itu. Ibu, aku mendengar suaranya, tapi kali ini dengan nada suara yang aku tidak mengerti, semakin pelan aku langkahkan kaki menuruni anak tangga. Semakin jelas aku dengar suara mereka bercakap, nafasku kutahan, ada sedikit ketakutan yang seketika menjalar dari ujung kakiku yang masih kecil. Aku mengintip dari balik ujung anak tangga, kearah ruang tengah, kudapati Ayah sedang berbicara dengan Ibu, disana, ada orang tuaku, lengkap, tapi aku gemetar, ketakutan. Dan, aku menguping pembicaraan mereka.
“Biar Denis aku yang urus, mana bisa kamu kerja dan bisa fokus mengurusnya, setiap hari aku dengar dia sendiri, kecuali kamu pulang lebih awal dari pekerjaanmu atau bisnismu, atau apalah itu.”
“Denis bahagia bersamaku, jangan paksa aku untuk melepaskannya.”
“Sudah dua tahun kita bercerai, dan kau tidak memberikan aku kesempatan untuk mengurus anakku sendiri? Apa itu adil?”
“Apa? Adil? Kamu membicarakan soal adil disini? Apa adil? Saat aku tugas keluar kota karena pekerjaan tiba-tiba saat kembali kamu meninggalkan Denis sendiri dirumah sementara kamu pergi dengan mantan pacarmu itu? Apa itu adil?”
Aku melihat ibuku tertunduk, lalu menangis, intonasi mereka sangat keras, aku menangis melihatnya, mereka bertengkar didepanku, meributkan hal-hal yang tidak sama sekali aku mengerti. Aku bingung harus bagaimana, dan aku berbalik dari dinding tempat aku mengintip mereka, dengan piyama kotak-kotak yang lengannya kebesaran lebih panjang dari lenganku, aku menangis memandang kedua orang tuaku.
“Denis, kamu, “ suara Ayahku yang pertama aku dengar, dia langsung mendekatiku, memelukku kemudian menggendongku dalam dekapannya, selalu ada kehangatan yang aku rasakan ketika aku dipeluk olehnya, ada ketenangan lebih dari sekedar tenangnya malam-malam tanpa suara jangkrik atau erangan kodok dipematang sawah. Aku menangis, sedih. Memeluk Ayahku erat. Ayah hendak membawaku kembali kekamarku, naik ketangga, namun Ibu menghalangi kami, Ibu menarikku dari pelukan Ayah, mengambilku dari pelukan Ayah, kemudian mencoba memberikan pelukannya untukku, pelukannya yang dingin melebihi hujan sepanjang hari tanpa henti, pelukannya yang kaku seperti gerakan robot robocop ku yang rusak.
“Biar mulai sekarang Denis bersamaku Mas, aku Ibunya, atau, biarkan aku bertanya pada Denis tentang satu pertanyaan.” Ibu mendudukkanku di sofa tua empuk di ruang TV, mereka berdua menatapku, seperti sedang mengadiliku, Ayah dengan mata cokelatnya yang sudah begitu aku kenal, raut wajahnya yang tirus, alis matanya yang tebal, dan senyumannya yang selalu ada kapanpun, namun kali ini pertama kalinya aku lihat tidak ada senyuman itu, seperti tatapan kekhawatiran. Dan Ibu, perempuan dengan rambut tersisir rapih, dan ada warna-warna di bibirnya itu yang mencolok mataku. Ibu seolah-olah sedang menghakimiku karena aku mencuri makanan dari kulkas, aku tidak suka pandangan matanya kepadaku.
Aku menangis dalam keadaan ini, melihat kedua orang tuaku yang seperti sedang menunggu sesuatu hal besar untuk mereka. Ayah aku lihat lebih tenang ketimbang Ibu yang seperti cemas. Kemudian, sampai akhirnya, pertanyaan dari mulut Ibuku terlontar.
“Biar kita tanyakan kepada Denis, supaya kita tahu apa maunya dia, apa yang dia inginkan.” Ucap Ibuku kepada Ayah. Ayah tidak menjawab, Ayah hanya menatapku, mata coklatnya penuh harap, sedikit berkaca. Aku semakin ketakutan, menangis.
“Kamu tidak berhak menanyakan kepada Danis!” kata Ayahku tegas,
“Biar aku mengantarkan dia kekamarnya, ini sudah larut malam.”
“Tidak, jangan dulu, biar aku tanyakan, kamu sama sekali tidak memberikanku kesempatan?”
Aku memejamkan mata dan menutup kedua telingaku dengan sisa piyama yang panjang dilenganku, air mata menetes dan tangisku pecah.
“Denis, dengar Ibu, jawab pertanyaan Ibu, hei Denis, dengarkan Ibu!” Ibu menarik tangaku dari telinga, memaksaku untuk mendengarkannya, mataku masih kututup, tak mau aku melihat wajahnya, aku takut.
“Kamu jawab pertanyaan Ibu, kamu pilih Ayah atau Ibu, jawab dengan jujur, kamu mau tinggal bersama Ayah atau dengan Ibu?”
Aku tidak mengerti pertanyaan macam apa itu? Sama sekali tidak pernah aku pikirkan pertanyaan itu, yang aku tahu aku memiliki dua orang tua yang tinggal terpisah, Ayah meninggalkan Ibu karena Ibu pergi bersama orang asing yang tidak aku kenal, Ayah merawatku sejak usiaku tiga tahun, sampai sekarang sudah lima tahun. Dan sekarang Ibu kembali, membawa pertanyaan tentang aku mau tinggal bersamanya atau tetap dengan Ayahku. Aku menangis sejadinya, kesedihanku saja tidak bisa aku deskripsikan karena apa? Aku masi lima tahun, yang ada dipikiranku, membangun kubik di halaman depan, menjadikannya bangunan tinggi setinggi tubuhku yang tidak sampai satu meter. Lalu melihat awan-awan yang berarak menyerupai gajah, beruang, jerapah, atau robocopku.
****


 _Dance with My Father_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label