Selasa, 08 November 2011

TIDAK TERDEFINISI



Deskripsi singkat tentang dia yang namanya terukir erat dalam pikiran ini. Awal dari ciptaan Tuhan yang luar biasa kuat, setelah mama. Memiliki sifat yang begitu tegas sekaligus lembut bersamaan keduanya. Sosok wibawa yang selalu mengamati dari belakang, dan selalu siaga setiap kali kita dalam keadaan susah. Pria dewasa, yang berusaha membahagiakan setiap orang yang ada disekitarnya tanpa terkecuali, anak maupun istri. Selalu ingin melihat keutuhan keluarga, dia adalah imam sekaligus pemimpin yang sangat bijaksana, dialah sosok pelindung yang bersahaja, Luar biasa, dan aku jadikan dia sebagai simbol kedamaian, penetral suasana bagi sebagian wanita, selalu cerdas membuatku tertawa. Ayah yang selalu menunjukkan bahwa kita adalah kita, bukan siapa-siapa namun penuh makna dalam keluarga. Rendahkan diri di atas tahtanya demi keluarga. Selalu dan selalu akan menjadi panutan sepanjang masa. Memimpin keluarga dan paling mengerti rumah tangganya.
Dalam sebuah catatanku yang usang tertutup debu, aku menyingkap kenangan yang sudah lama aku tinggalkan bersama terbalut rindu yang tidak menentu. Tidak sedikitpun terbersit dalam khayalan disetiap kesempatan apapun, bahwa, pada akhirnya aku akan bertemu saat-saat ketika aku harus melihat, yang tidak terdefinisi, pergi dalam sendiri, berpisah, dan keluar dari hidupku selamanya. Hingga aku sadar, bahwa ini adalah kehilangan yang sesungguhnya, dia yang aku cintai dalam doa, dalam nafas, dalam langkah dan jejak hidupku, tak akan pernah sedikitpun lepas dari ingatanku.
Marahnya adalah cinta, kepenatannya adalah cinta, tangisannya dalam sepenggal malam adalah cinta, keringatnya adalah cinta, kerja kerasnya adalah cinta, perjuangannya adalah cinta, diamnya adalah cinta, anggukan kepalanya adalah cinta, setiap bahasa tubuhnya adalah cinta, cinta yang kasat mata, tidak tertulis, hanya tersirat.
Panas matahari yang membakar kulit cokelatnya, debu-debu disetiap jalan yang menempel pada wajahnya, atau deras hujan yang membuat tubuhnya menggigil, semua tidak pernah diperhitungkan olehnya. Caci maki, hinaan, pujian, tertawaan, guyonan baik ataupun buruk, singgungan, semua tidak pernah akan melukainya karena hatinya sekeras batu karang yang tidak pernah hancur terbentur ombak di samudra.
Kala siang berpeluh keringat, kala malam bermandi hangat bersama keluarga. Senyuman ku, Mama, adik, kakak, adalah harga mati dari bahagianya Ayah yang ia beli dengan susah payah. Setiap sen rupiah yang keluar dari kantongnya tidak akan pernah dimintanya kembali, tidak akan ada perhitungannya, tidak akan ada untung ruginya.
Tak kasat mata ketika aku sadar bahwa Ayah kini tiada. Sosok yang selalu aku kagumi telah pergi, meninggalkan kami disini. Entah ketika saat saat itu datang aku sedih atau kecewa, sedih karena ternyata Ayah tak menepati janjinya untuk selalu menemani kami bersama-sama, dan kecewa karena Tuhan mengambilnya begitu cepat. Kehilangan sosoknya ketika aku tumbuh dalam masa remaja. Aku dalam sisa-sisa air mata, mengingat ketika ia dibaringkan dalam tempat pembaringan terakhirnya, dan akan hilang selamanya dari pandangan mata, akupun berkaca-kaca tanpa bicara, Saat dulu Ayah ada, aku selalu memandangnya dalam setiap tidurnya, dan kini, aku memandangnya terbaring dalam tempat tidurnya yang terakhir. Diatas namanya yang terukir dibatu abu-abu, aku tersimpuh tak mau beranjak, tak ingin pergi meninggalkannya, ingin selalu ada bersamanya, ingin memeluknya setiap saat dia kembali membuka pintu rumah. Kepergiannya mendewasakanku, kehilangannya memberikan arti bagiku. Dan air matapun jatuh, kembali mengingatnya... yang tidak terdefinisi.
*****

Singing: Dance with my Father - Luther Vandros

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label