Dalam catatanku beberapa purnama singgah pada setiap malam yang berkabut pekat, Ku masih saja duduk didepan deg jendala kamar atas, memandanginya lalu tersadar beberapa tetes air mata jatuh perlahan, dan ingatanku kembali padamu. Berfikir tentang kepergianmu dalam jeda waktu yang aku coba untuk tidak tahu, dan anggap saja tidak datang,
Kala itu, aku yang betapa jatuh cintanya kepadamu sangat yakin akan mendapatkan perlakuan yang sama denganmu, hingga waktu itu tiba, dan kita berjumpa.
”Aku yang menemuimu” kau ucap seperti itu, itu yang kuingat,
Dan ada sedikit sekali bahagia yang mekar dalam hati terjauh. Karena aku tau sebenarnya ini palsu.
Malam itu kita bertemu dalam sajian makan malam yang sederhana namun bersahaja karena aku berusaha untuk benar-benar merasa bahagia. Senyumanmu, lesung dipipimu, belahan di rambutmu, cara kau menatapku, dan bahasa tubuhmu terhadapku semua kurekam dalam ingatan dan kusimpan dalam folder yang sampai kini tak bisa aku hapus, semua tersusun rapih.
”Senang kan kamu, akhirnya aku yang kesini, kapan kamu yang kekotaku?” ucapnya sambil menuangkan gula kedalam minumannya.
Aku tak menjawab, hanya sepotong senyum yang keluar dari bibirku yang kelu kala itu, karena masih saja memandanginya sampai hati ini terpuaskan.
”Kamu diam aja? Biasanya cerewet?” ucapnya sekali lagi mencoba cairkan suasana.
”Aku senang, akhirnya kita bisa ketemu.” kataku sedikit malu.
Dan dia, tersenyum, mengembangkan senyumnya berarti membelah lesung di pipinya, sangat manis dipandang mata, aku sangat cinta dia!
Setelah makan malam itu berlalu, aku masih saja kaku, berjalan disampingnya, digandeng tanganku dan dia berkali-kali menatap balik kepadaku, berulang kali, aku coba kuasai diri dan tak menujukkan diri bahwa sebetulnya aku benar-benar grogi.
Aku sadar, saat itu semua orang yang lewat didepan kami memandang kami dengan sedikit bingung, hanya karena dia dengan penampilannya yang seadanya dan aku masih lengkap dengan pakaian kantorku yang rapih, sangat rapih tepatnya. Tapi siapa yang perduli, ku beli semuanya malam itu, hanya untuk aku dan dia, berdua saja, tidak ada yang lain.
Beberapa hari berganti, berganti, dan kau masih bersamaku disini, bukan hanya dalam hati dan pikiran saja, namun hadir didepanku, kau adalah bahagiaku kali itu.
”Kamu pasti ilfeel jalan sama aku kan?” ucapnya sore itu disepanjang jalan taman hijau.
”Ilfeel? Ilfeel kenapa?” balasku sigap, berusaha untuk wibawa, namun ada bisik dalam hati ini seperti ingin menari-nari, entah karena apa.
Dia tidak menjawab, sekali lagi, lagi, dan lagi, hanya senyuman dengan bonus lesung di pipinya yang mengembang.
”Kamu senangkan aku kesini”
”Sangat” ku rangkul pinggangnya, dan semakin dekat dengannya semakin jelas harum tubuhnya, dan aku sangat menikmatinya, kau dan aku antara kita berdua saja. Aku benar-benar mendapatkannya, semuanya, hatinya, bahagianya, kala itu.
Kau sempat cumbu aku saat awal waktu itu, dibawah langit gelap namun megah dengan hiasan bintang yang memiliki rasinya masing-masing. Pertemuan mu dan aku kali itu kucatat sebagai sebuah pertemuan yang begitu eksotis, dalam beberapa jeda waktu tak menentu aku masih saja ingat jelas setiap goresan sentuhanmu di tubuhku, yang kini, menjadi bekas, luka yang menyayat setiap kali aku mengingatnya.
Aku tinggalkan kamu siang itu diantara trotoar jalan, tanganmu menggenggamku erat, akupun balas menggenggamnya erat, aku sedih, hari terakhir kita bertemu, kau akan berlalu dan pergi, meninggalkanku sendiri. Kupandangi matamu dalam tatapan kasih yang tiada terdefinisi, ada kilatan ketakutan, takut akan benar-benar kehilangan, takut aku lepaskan pergimu, takut bahagia menghilang diantara kita. Dan kemudian, kau pergi, lepas dari pandangan, menjauh dari sentuhan.
Setiap detik mulai berlalu, awalnya sedikit malu-malu, namun kian detik, menit, jam, menjadi hari-hari yang aku rasakan mulai berkejaran. Waktu benar-benar menghilang, hempaskan aku dalam bimbang, kau dan aku tidak ada kita disana. Dalam setiap malamku kini berubah menjadi bisu, kian membisu.
Aku mengusap air mata yang jatuh mengingat saat itu datang, dalam sebuah perjalanan pagi yang harusnya menjadi semangat, akhir pekan, bebas dari semua pekerjaan, semua menyebutnya dengan ucapan T.G.I.F Thank’s God It’s Friday! Kau, membuat hari itu menjadi biru, dalam seketika aku membeku. Yang kemarin kita bertemu, ternyata benar, adalah terakhir kalinya aku dan kamu bertemu dalam ’kita’, antara kau dan aku. Kau hapuskan aku dari ingatanmu, kau abaikan semua panggilanku kepadamu, dan kita berdua menjadi orang asing!
Dan kembali dalam malam purnama yang singgah, serupa lingkar bulat dan cahayanya, namun beda nuansanya, aku terluka, masih terluka.
Ketika sebuah pilihan untuk bahagia jatuh,
Anggap saja itu sebagai sebuah permainan,
Setiap permainan yang akhirnya akan ada yang kalah dan menang,
Setiap hati memiliki peran,
Setiap hati memiliki rasa,
Aku memilih rasa dan peran yang sama, yaitu, mencintaimu,
Namun aku lupa kala itu tentang ’sakit’ yang akan ada setiap kali sesuatu berakhir dengan akhir yang tidak diharapkan,
Aku coba menerobos celah waktu dan batas jarak antara aku dengannya,
Namun sia-sia, berkaca pada purnama seperti lentera dimalam yang buta.
Aku pemain yang kalah, dan aku menyerah...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar