Ombak ketika senja itu beriringan saling kejar mengejar, buih-buihnya yang meninggalkan jejak disetiap pesisir pantai membuat sederet garis batas memanjang terbentang sejauh mata memandang. Aku disana, duduk melipat kakiku dipinggir pesisir pantai, menikmati tiap lekukan angin yang menyapa tubuhku yang hanya terbalut dress putih yang setengah basah, aku tersenyum.
“Hei..” suara itu memecahkan keheningan dan dengan sigap merangkulkan tangannya kepundakku, aku menoleh, kembangkan simpul bibir tipis merah jambu, kemudian dia mengecup keningku.
“Selamat hari jadi Ze..”
Aku memeluknya erat, sesekali deburan ombak mengeringi sebagai latar belakang musik antar pelukan aku dengannya.. “Aku sayang kamu Re, makasi ya selalu ada buat aku” bau harum wangi flamboyan kuat masuk kedalam hidungku, parfume favoritenya dan juga aku, aku makin mendekapnya erat. Reno membelai rambutku yag panjang, dan sekali lagi mengecup keningku, selalu meninggalkan cerita dalam setiap kecupannya.
---
Sepenggal matahari siang itu begitu terik, mobil Jeep yang dikemudikan Reno berjalan melambat ketika lampu merah memberhentikan sederet kendaraan yang terpaksa diam mendadak serentak, raut wajah Reno yang tirus menampakkan kecemasan yang tidak dia jelaskan kepadaku, aku memandangnya berkali-kali, lewat sepion depan.
“Kamu beneran gak apa-apa?”
“Gak apa-apa ze, tenang aja ya, aku antar kamu ke Bandara, bentar lagi juga sampai kan.”
Sore itu, Bandara Ngurah Rai terlihat sedikit sepi, karena bukan akhir pekan atau musim liburan, Reno mengantarkan kepergianku ke Belanda, ya aku pergi ke Belanda, meninggalkannya di Denpasar dengan semangat cinta yang tidak akan pernah terhenti diantara kita berdua, karena hati kita nyata adanya. Aku pergi ke Belanda karena ada riset studi banding dari perusahaan tempatku bekerja, dan ini adalah riset impianku untuk promosi jabatan.
Tiba didepan pintu keberangkatan luar negeri yang tidak begitu besar, Reno masih memegang koperku, sebelah tangannya menggenggam erat jemariku, aku merasakan aliran darahnya lebih cepat dari biasanya, ada sedikit keringat basah ditelapak tangannya, aku tahu sekali jika seperti itu berarti dia sedang gugup, aku bisa kuat merasakannya. Kita berdua berhenti didepan petugas yang akan memeriksa tiket pesawat. Reno tanpa kata apapun melapas genggaman tangannya dan koperku, lalu memelukku, sangat erat, harum flamboyan menari-nari lagi dikepalaku, meresap cepat setelah masuk lewat hidungku, seolah seperti refil isi ulang yang akan menjadi pengingat dia seutuhnya. Ada sedikit sesak dalam hela nafasku kali ini, sedikit berat meninggalkannnya, pelukannya meluapkan bahagia yang hadir dipertengahan antara sedih siang itu. Dia lepaskan pelukan bersahajanya, aku tahu setelah ini akan ada kecupan dikeningku setelah dia mengelus rambutku, tepat!
---
Dan waktupun berlalu, dalam sekejap menjadi bulan-bulan penuh kerinduan, terbentang dihadapanku dengannya, jejak-jejak rindu sebatas Belanda dan Denpasar. Tak henti-hentinya kita bersua hingga tak terasa jarak kini telah menjadi sebuah kuota pasti pemisah keberadaan ditengah-tengah kita. Sangat bersyukur dengan segala tekhnologi yang ada saat ini, bukan hanya telpon seluler cerdas dengan berbagai fasilitasnya yang ajaib, video chatting di internet, dan sesekali kita berkirim surat ‘nyata’ bukan melalu sms, email, atau apapun namanya di jalur kabel itu. Bertumpuk-tumpuk kertas dengan semprotan flamboyannya, guratan-guratan kertas yang sedikit lecak karena tangan Reno yang basah, coretan di beberapa kata, dan perbaikan disebelah kata berikutnya menjadikan sebuah super sugesti bahwa kita berdua ini dekat, hanya berbatas dinding tipis yang kemudian memisahkan langit, angin, bintang, embun pagi, deburan ombak, lamunan dalam mimpi, dan sorot lampu-lampu malam yang menerangi jalan. Aku dan dia menikmati situasi ini, kami bedua saling memahami, bahwa hati kami tetap satu cinta. Wake up call, lunch alert, daily report, semuanya legkap, bahkan pengantar tidurpun Reno bersedia menelponku hingga aku terlelap tidur dan sama-samar kudengar suara dia jauh dari gagang telpon. Dia segalanya, sempurna!
---
Setahun berlalu, tak terasa waktu sama-sama mendewasakan hubungan kita, aku siap kembali ke pulau dewata dan mengisi setiap mimpi yang datang dalam tidurku dalam malam-malam sepi di Belanda. Sambutan hangat sudah bisa aku rasakan sejak aku melangkah turun dari pesawat, menginjakkan kaki lagi di pulau seribu pura, aku kembali.
Reno sudah berdiri pintu kedatangan luar negeri, wajahya sama sekali tidak secemas ketika terakhir kita bertemu, lebih cerah, dan kian bersahaja, aku kembali tergila-gila dengan si Mr. Flamboyan itu, berlari kecil kemudian langsung memeluknya, mengalungkan kedua lengan ke lehernya yang kekar. Tertawa kecil disamping telinganya, lalu berbisik pelan,
“Hei jelek, apa kabar?”
“Jelek tapi bikin kangen kan” jawabnya dengan suara yang setahun kemarin hanya bisa aku dengar dari gagang telpon atau Voice Message yang direkamnya untukku. Lalu aku lepaskan pelukan singkat itu, tersenyum manja didepannya, menggenggam tangannya, menggigit bagian bawah bibirku, lalu menganggukkan kepalaku.
“Siapa suru riset jauh-jauh.” Balasnya sambil mengacak-acak rambut kepala bagian atasku.
“Ya udah, sekarang kamu masih mau diam disini atau mau aku antar pulang kerumah?”
“Ayo,” ku ambil tas kecil dan koper yang beberapa detik lalu aku abaikan.
Reno yang dengan sigap mengambil koperku, lalu tangannya kembali menggenggam tanganku, kami meninggalkan bandara.
Sepanjang jalan menjelang sore itu menuju arah Pemogan sedikit macet, Jeep Reno jalan melambat. Dan aku, menikmati suasana kota yang setahun lalu aku tinggalkan, aroma dupa disepanjang jalan, bangunan-bangunan sejajar berderet rapih yang didepannya berbata merah dengan patung-patung, dan lebar jalan yang sempit, semuanya tidak berubah, masih sama, hilir mudik wisatawan mancanegara juga masih terlihat sama, hatiku senang, kembali dalam pelukannya, aku melirik ke Reno yang serius mengemudi, kadang kucubit pipinya yang tirus itu.
Hampir tiga puluh menit bejalan, tapi belum sampai juga kerumahku yang seharusnya hanya dua puluh menit bisa sampai dari bandara. Aku baru sadar, ada yang salah, jalur yang Reno ambil bukan mengarah ke jalan Raya Pemogan rumahku, bodohnya.
“Kita mau kemana Re?”
Reno tidak menjawab, dia hanya senyum dengan sedikit alis mata terangkat, kembali melanjutkan kemudinya.
“Kamu nggak bilang kalau mau mampir dulu ketempat lain, aku belum telpon bunda, tadi pas take offf aku bilang kamu jemput lalu langsung pulang kerumah.” Mulai sibuk mencari smart phone ku didalam hand bag. Kucoba menekan nomor pangggilan cepat, dan kutunggu beberapa saat.
Telepon yang anda tuju sedang sibuk atau berada diluar jangkauan.
“Wah gak biasanya telpon dimatiin gini. Kita kerumahku dulu aja ya Re, lagian itu koperku juga ribet dibawa-bawa.”
“Nggak usah, kita langsung aja, kamu kayak jalan sama siapa aja, lagian ini kan udah di Bali, kamu gak usah takut.”
Aku meyakinkan diri dengan ucpan Reno, dan menghilangkan jauh-jauh kecemasan yang sedikit timbul karena bunda tidak bisa dihubungi.
---
Jeep mengarah kearah Selatan Bali, tepatnya keujung selatan Bali, dan ini, aku rasa bukan tempat yang dekat, sudah hampir satu jam perjalanan dengan Jeep Reno, aku mulai lelah dari sisa-sisa perjalanan tadi, tapi kubuang jauh-jauh rasa lelah itu karena ada rindu didalamnya.
“Uluwatukah kita?”
Reno tersenyum. Tidak beberapa lama jeda setelah itu, tepat ucapanku, kita berdua tiba di kawasan Uluwatu, satu dari ratusan pure yang tersebar di Bali. Aku keluar dari dalam Jeep, pakainku masih rapih, seperti pakaian office wear berwarna cream.
“Mau liat tari kecak?”
“hmm.. “ Reno tidak menjawab.
Kita menelusuri jalan setapak yang makin meninggi, orang-orang ramai lalu lalang, disamping kiri dan kanan kami tidak seperti biasanya, ada hiasan lampu-lampu kayu yang menyala, suara deburan ombak yang menghempas karang digaris tebing membahana, dan suara gemericik buih-buih putih kecil yang merayap kepermukaan karangpun terdengar jelas. Semakin mendekati pure, kulihat kerumunan yang tidak seperti biasanya akan menyaksikan pertunjukkan tari kecak, turispun tidak kelihatan, semuanya berpakaian rapih, dan seperti banyak yang tidak asing kulihat disni. Reno menggamit tanganku dan sedikit menarik tanganku agar aku berjalan lebih cepat. Semuanya semakin jelas, aku melihat beberapa kerabat yang kukenal, dan mereka semua tersenyum, mereka memandangiku dan Reno ketika tiba tepat diatas tebing Uluwatu. Ombak-ombak masih dengan gagahnya mencoba meruntuhkan karang namun gusar, dan langit senja yang menguning membuat bayangan dibalik deretan orang-orang ini. Sampai akhirnya kudapati, kedua orang tuaku ada diantara mereka.
“Ada apa ini?” tanyaku menatap bingung kepada Reno, mau beranjak melepaskan genggaman tangan Reno, berlari ke arah bunda dan segera menyapanya, namun Reno menahanku, bunda tersenyum dan menggelengkan kepalanya, aku seperti mimpi, entah ini hari apa, mungkin kejutan ulang tahunku. Deburan ombak selalu memecahkan keheningan, menggebu-gebu, Reno melepaskan genggaman tanganku, dan seketika semua orang yang ada disitu berdiri, musik terhenti, hanya terdengar sisa-sisa buih dari hempasan ombak, hening.
“Would you be my wife Zenorita?” Reno mengeluarkan Cincin perak dan menyodorkannya untukku,
Seperti semua terhenti, aku menggigit bibir bagian bawah, terkejud, kulihat kesekeliling, semua dengan raut yang sama, senyuman mengembang.
Deburan ombak-ombak menghempas karang, buih-buih yang cantik, laut lepas yang biru, langit senja yang menguning, dan matahari yang hampir meninggalkan senja, seperti kelopak mawar yang merekah, berbalut embun pagi, semua begitu sempurna, hembusan angin mendamaikan setiap jiwa yang hadir saat itu termasuk aku, hati ini pun tak hentinya menari-nari dalam iringan deburan ombak-ombak Uluwatu.
Aku menganggukan kepala, bahagia.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar