Bersama angin aku turut berharap, namun tetap saja kosong... |
Malamnya gelap gulita,
Langit rata tertata tanpa awan, hanya satu pekat sekat gelap sejauh mata memandang,
Terduduk diri ini dalam beranda taman menekuk kaki dan memeluknya dalam dingin,
Semilir bau tanah dan rumput basah setelah seharian tersiram hujan menusuk diam-diam kedalam hidung.
Bisikan angin-angin malam membawakan sejumput pengharapan dari pengirim surat tanpa pengantar yang sejak lama ditunggu-tunggu,
Aku terpaku, masih saja terpaku seperti dulu,
Menjentikkan jari jemari kelangit, seolah berdebat dengan rasi bintang yang kosong karena langit bersih kala itu,
Seberapa banyak kata yang harus aku keluarkan beriringan dengan denting air hujan yang merayap deras di atas atap rumah pohon? Agar aku bisa menjelaskan lebih terperinci setiap detail isi hati,
Mendayu-dayu semilir anginya,
Bersorak-sorak dalam damai yang asing,
Bergelayutan bersama ranting basah yang lapuk oleh rindu,
Alah, ada kata rindu lagi terucap, bahkan sudah aku lupa bagaimana rasanya rindu itu merajuk pada hati yang biru.
Kata-kata ini rasanya tidak juga cukup mewakilkan rasa semrawut dalam dada,
Hanya bisa sejenak menepikan rasa, kemudian tidak sabar seolah seperti ingin melebarkan, membentangkan layar agar terkembang melaju kedepan namun berjalan mundur tanpa sadar dalam diam yang masih saja diam,
Kembali aku sadari terduduk merapatkan kaki diatas bangku kayu beranda yang basah,
Seperti berdialog dalam bahasa alam yang verbal namun kasat mata,
Bercerita bersama angin kosong yang tidak membawa kabar apapun, kosong ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar